Laman

Sabtu, 27 April 2013

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH PADA DIMENSI KEWENANGAN ANTARA DPRD DENGAN KEPALA DAERAH *

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
 Salah satu persoalan yang mendapat perhatian serius setelah reformasi pada tahun 1998 adalah persoalan pemerintah daerah. Sejarah ketatanegaran Republik Indonesia menunjukkan bahwa sebelum UUD Negara Republik Indonesia 1945 diamandemen persoalan hubungan antara pusat dan daerah sangat tidak jelas. Hal lain yang dapat disimpulkan dari rumusan pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan penjelasannya adalah bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Desentralisasi merupakan salah satu sendi susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik Indonesia.[1] Dengan demikian wajar  apabila GBHN menggariskan pengembangan hubungan yang serasi dan tepat antara pusat dan daerah sebagai salah satu sasaran pembangunan nasional di bidang pemerintahan.
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki empat dimensi penting untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama, pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi sejauhmana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Kedua, pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan keuangan, yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga, implikasi terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah mengharuskan kehati-hatian mengenai besaran kelembagaan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan masing-masing. Keempat, hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang muncul dari pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara Kesatuan. 
 
Pengaturan yang demikian menunjukkan bahwa tarik menarik hubungan tersebut kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir Manan disebut dengan spanning antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Memperhatikan uraian tersebut diatas maka timbul beberapa persoalan mengenai pola hubungan antara Pusat dan  Daerah khususnya pada dimensi kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang terkait dengan pola hubungan antara Pusat dan  Daerah khususnya pada dimensi kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah sebagai berikut:
1.      Apa yang menjadi teori dan asas penyelenggaraan pemerintah daerah?
2.      Bagaimana Pola Hubungan Pusat dan Daerah dari dimensi kewenangan Antara DPRD dengan Kepala Daerah? 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori dan Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Terbentuknya satuan pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi adanya konsep pembagian dan pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri negara hukum. Sebagaimana diketahui pembagian kekuasaan dikenal adanya pembagian kekuasaan horizontal dan vertikal. [2] pembagian secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan yang mana kekuasaan pada suatu negara di bagi dan diserhakan kepada tiga badan, yaitu kekuasaan eksekutif diserahkan kepada pemerintah, kekuasaan legislatif diserahkan pada parlemen dan kekuasaan yudikatif diserahkan pada badan peradilan. Selanjutnya pembagian secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintah lainnya yang lebih rendah “dari segi hierarkis atau susunan pemerintahan”. 
 
Yang melata belakangi gagasan dianutnya pembagian kekuasaan secara vertikal meliputi bebera sebab diantaranya:[3]
1.      Kemampuan pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas;
2.      Wilayah negara sangat luas, terdiri dari 3000 pulau-pulau besar dan pulau kecil;
3.      Pemerintah tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut;
4.      Hanya rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan dan masalah yang dihadapi;
5.      Dilihat dari segi hukum, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasl 18 menjamin adanya daerah dan wilayah;
6.      Adanya sejumlah urusan pemerintahan yang bersifat kedaerahan;
7.      Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut pemerintah berpedoman pada beberapa asas, yaitu:[4]
1.      Asas keahlian, asas keahlian dapat dilihat pada susunan pemerintah pusat. Semuanya diolah oleh ahli-ahli dalam susunan kementerian-kementerian. Berdasarkan asasa keahlian maka setiap ursan pemerintah secara benar dan selektif diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian atau prfesionalisme di bidangnya.
2.      Asas kedaerahan, dengan bertambah banyaknya kepntingan-kepentingan yang harus dieselenggarakan oleh pemerontah pusat karena semakin majunya masyarakat, maka pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingan-kepentingan tersebut dengan baik tanpa berpegang pada asas kedaerahan dalam menjalankan pemerintahan.
Selanjuntnya dalam peraturan perundangan pemerintah daerah dikenal beberapa asas peyelenggaraan pemerintah daerah , seperti asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas pembantuan. Namun sebelum membahas hal tersebut terlebih dahulu dijelaskan pengertian dari desentralisasi dan dekonsentrasi. Secara etimologi istilah desentralisai berasal dari bahasa latin yang berarti De: lepas dan Centrum: pusat, dengan demikian desntralisasi berarti melepaskan dari pusat.  Dari sudut pandang ketatanegaraan desentralisasi merupaka pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri.[5] Selanjutnya Bagir Manan menjelaskan bahwa secara umum desentralisasi merupakan ‘bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat’.[6] Lebih lanjut Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi bukan merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan suatu proses.[7] Lebih jelas pada pasal 1 UU No. 5 tahun 1974 merumuskan Desentralisasi sebagai penyerahan urusan pemrintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Selanjutnya Tugas Pembantuan merupakan tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan/ pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah arau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya. 
 
Namun lebih jelasnya bahwa dalam desentralisasi dan dekonsentrasi mengandung ciri-ciri tersendiri sebagai berikut:
1.      Ciri-ciri Desentralisasi
  • a.       Bentuk pemencaran adalah penyerahan;
  • b.      Pemencaran terjadi kepada daerah (bukan perorangan);
  • c.       Yang dipencarkan adalah urusan pemerintahan;
  • d.      Urusan pemerintahan yang dipencarkan menjadi urusan pemerintah daerah.
2.      Ciri-ciri Dekonsentrasi
  • a.       Bentuk pemencaran adalah pelimpahan;
  • b.      Pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perorangan);
  • c.       Yang dipencarkan (bukan urusan pemerintahan) tetapi wewenang untuk melaksanakan sesuatu;
  • d.      Yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tanggasendiri.
Memperhatikan ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa dalam dekonsentrasi, kekuasaan dan kewenangan urusan pemerintahan hakikatnya masih berada ditangan pemerintah pusat. Hal ini dapat di simpulkan dari istilah “pelimpahan” yang membedakan dengan istilah “penyerahan”.
Berdasarkan hal tersebut maka timbul persoalan hukum berkaitan dengan perbedaan pengelompokan desentralisasi dan dekonsentrasi dalam perspektif yuridis formal. Dalam UU yang mengatur pemerintahan daerah desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan asas penyelenggraan pemerintahan daerah, tetapi menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa yang merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah hanya meliputi asas otonomi dan tugas pembantuan. Namun perlu di ingat bahwa dalam teori perundang-undangan khususnya mengenai asas-asas perundang-undangan terdapat assa hirarki. Artinya bahwa peraturan perundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Konsekuensinya adalah  apabila peraturan yang lebih rendah bertentang degan peraturan yang lebih tinggi maka peraturan tersebut batal demi hukum.  Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen merupakan landasan konstitusional pemerintah daerah, yang memuat paradigma baru dan arah politik pemerintahan daerah sebagai berikut:[8]
1.      Prinsip daerah mengatur dan mngurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;
2.      Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya ( pasal 18 ayat (5) );
3.      Prinsip kekhususan dan keragaman daerah ( pasal 18 ayat (1) );
4.      Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (pasal 18 B ayat (1) );
5.      Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya ( pasal 18 B ayat (2) );
6.      prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil ( pasal 18 ayat (2) );
7.      prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum ( pasal 18 ayat (3) ).
 
Hilangnya Desentralisasi dan Dekonsentrasi sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan dari pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen merupakan hal yang wajar, mengingat pengertian umum desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisai, jabatan atau pejabat. Dengan demikian dekonsentrasi secara umum dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi, karena mengandung makna pemencaran.[9]
 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Desentralisasi dan Dekonsentrasi bukanlah asas penyelenggaraan pemerintahan dengan alasan, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi mengandung pengertian/hakikatnya merupakan pemencaran kekuasaan; desentralisasi merupakan proses penyerahan kekuasaan atau wewenang dan dekonentrasi merupakan cara dalam menjalankan sesuatu.
Mengingat bahwa kedudukan UUD Negara Republik Indonesia 1945 lebih tinggi dari UU atu bentuk peraturan lainnya, maka yang menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi:
1.       Asas Otonomi

Secara etimologi otonomi bersala dari kata oto ( auto = sendiri ) dan nomoi ( nomoi =   nomos = undang-undang/aturan) yang berarti mengatur sendiri.
Dalam tata pemerintahan otonomi diartikan sebagai mengatur atau mengurus rumah tangga sendiri. Berikut ini beberapa ahli mengemukakan pengertian otonomi:
a)      Van der Pot menyatakan bahwa pada pokoknya otonomi itu berarti peraturan dan pemerintahan dari urusan sendiri, yang dalam UUD belanda dinamakan” rumah tangga sendiri” [10]
b)      Logemann menyatakan bahwa otonomi berarti memberi kesempatan kepadanya mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam kekuasaannya untuk mengurus kepentingan umum (penduduk)
c)      Van Vollen Hoven menyatakan bahwa otonomi yaitu kekuasaan bertindak merdeka (Vrij Beweging) yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri daerahnya itu, adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif sendiri itulah yang disebut otonomi.

Selain pendapat beberapa ahli diatas pengertian otonomi juga dapat dilihat dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada pasal 18 ayat (2) kata “otonomi” disatukan dengan kata “asas” sehingga dikenal dengan istilah “asas otonomi”, yang menjelaskan anak kalimat sebelumnya, yang berarti “pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus (garis bahaw pen)sendiri urusan pemerintahan”. Berdasarkan hal tersebut “ otonomi” berarti mengatur dan mengurus sendiri.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dipahami bahwa hakikat otonomi tidak lain adalah suatu kebebasan dan kemandirian daerah untuk mengatur sendiri atau menyelenggarakan urusan  serta kepentingannya berdasarkan inisiatif dan prakarsa serta aspirasi masyarakat daerah. Maka prinsip otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan pilihan yang dilakukan secara cerdas oleh para pendiri negara (The Founding Fathers) pada saat membicarakan dasar negara, meskipun pada akhirnya pilihan otonomi tidak dijadikan materi muatan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, melainkan akan diatur kemudian dalam undang-undang yang mengatur mengenai pemerintah daerah.

2.      Asas Tugas Pembantuan.
 
Secara etimologi tugas pembantuan merupakan terjemahan dari bahasa belanda Medebewind/Zelfbestuur yang berasal dari kata mede= serta, turut dan bewind= berkuasa atau memerintah. Medebewind pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollen Hoven. Medebewind merupakan peaksanaan peraturan yang disusun oleh alat perlengkapan yang lebih tinggi oleh yang rendah. Zelfbestuur yang merupakan terjelamahan dari bahasa Inggris Selfgovernment yang berarti segala pemerintahan ditiap bagan dari negeri Inggris. Sjachran Basah merumuskan bahwa yang dimaksud dengan tugas pembantuan yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya dari pihak lain secara bebas. Secara bebas artinya bahwa terdapat kemungkinan untuk mengadakan peraturan yang mengkhususkan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, agar sesuai dengan kenyataan sbenarnya di daerah-daerah sendiri.[11]
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam memberikan batasan mengenai tugas pembantuan secara redaksional terdapat perbedaan namun substansinya sama, yakni tugas untuk membantu pelaksanaan urusan pemerintah tingkat atasnya. Hanya saja mengenai hal ini, Bagir Manan mengklasifikasikan tugas pembantuan tersebut sebagai “kewajiban”, artinya bahwa kewajiban untuk mempertanggungjawabkan dalam pelaksanaan urusan tersebut.

Pengertian tugas pemabantuan juga dapat dilihat pada pasal 1 huruf (g) UU NO. 22 tahun 1999  yang menjelaskan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelakasanaannya dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Berdasarkan pengertian pada pasal tersebut, maka yang terpenting dan perlu di ingat dalam tugas pembantuan adalah unsur pertanggung jawaban yang di emban oleh satuan pemerintahan yang “membantu“.
Dalam menjalankan tugas pembantuan tersebut, urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah itu, masih tetap merupakan urusan pusat c.q. daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga yang dimintakan bantuan, akan tetapi bagaimana daerah otonom yang dimintakan bantuan melakukan tugas pembantuannya. Dalam hal daerah atau satuan pemerintahan yang dimintakan bantuan melaksanakan tugas pembantuan, tidak dapat mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas pembantuan, maka tugas pembantuan tersebut dapat dihentikan dengan tidak menutup kemungkinan pemerintah yang mempunyai urusan pemerintahan tersebut meminta ganti kerugian dari daerah yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Memperhatikan hal tersebut mununjukkan asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah merupakan salah satu asas yang sangat penting, bahkan secara tegas dicantumkan dalam pasal 18 ayat (2). Dengan demikian yang perlu diketahui adalah latar belakang atau dasar dipergunakannya asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. berikut ini terdapat 3 latar belakang atau dasar dipergunakannya asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
a)      Keterbatasan kemampuan pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi dalam hal yang berhubungan dengan perangkat atau sumber daya manusia maupun biaya;
b)      Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang lebih baik dalam penyelenggaraan pemerintahan;
c)      Sifat urusan yang dilaksanakan.
Berkaitan dengan sifat urusan yang dilaksanakan Ateng Syafruddin memberikan ukuran atau parameter materi muatan yang merupakan tugas pembnatuan, yang meliputi:
a)      Urusan terseubut berakibat langsung kepada masyarakat;
b)      Urusan yang secara tidak langsung tidak memberi dampak terhadap kepentingan masyarakat, karena semata-mata membantu urusan pusat;
c)      Urusan yang meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayananyang langsung memenuhi kebutuhan masyarakat daerah;
d)     Urusan yang tidak bersifat strategis nasional dan urusan yang tidak memerlukan keseragaman nasional.

Berdasarkan ukuran atau parameter tersebut, maka penyelenggaraan asas tugas pembantuan dapat mendatangkan keuntungan, baik bagi pemerintah daerah atau pemerintah tingkat atasnya. Bagi pemerintah pusat asas tugas pembantuan sangat meringankan beban, baik biaya, aparatur maupun tenaga yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan urusan pemerintahan sehingga efisiensi dan efektifitas akan mudah dicapai. Sedangkan bagi daerah keuntungan yang didapatkan yaitu pengalaman dalam berkreasi untuk memilih cara dan mekanisme penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan, sehingga pada saat suatu urusan diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan, maka darah tersebut hanya melanjutkan dan menyempurnakannya.
Namun terkait hal diatas Bagir Manan menilai bahwa, selain tidak sesuai dengan perkembangan, ada menfaat lain untuk tidak menarik garis pemisah yang tegas antara otonomi ‘dan tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan “terminal” menuju “penyerahan penuh” suatu urusan kepada daerah. dan tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh.

B.     Pola Hubungan Pusat dan Daerah dari Dimensi Kewenangan antara DPRD
dengan Kepala Daerah
Sebelum melangkah lebih jauh mengenai pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi kewenangan maka ada baiknya terlebih dahulu perlu diketahui pengertian atau batasan mengenai kewenangan. 
 
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Menurut Bagir Manan Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum sebagimana dikemukakan J.G Steenbeek, bahwa wewenang/kewenangan yang didalamnya terkandung hak dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban mempunyai dua pengertian yaitu secara horizontal dan vertikal.[12]
Salah satu konsekuensi dianutnya sistem otonomi yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah adalah perlunya pengaturan hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sehingga otonomi daerah di satu sisi dapat dijalankan, dan di sisi lain prinsip negara kesatuan tidak dilanggar. Dengan adanya dasar kewenangan yang sah maka setiap tindakkan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang sah. Sebaliknya, apabila tanpa ada dasar kewenangan, maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindakkan dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah) dan dapat juga dikatakan sebagai pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik. 
 
Secara khusus, kewenangan pemerintahan juga berkaitan dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab diantara berbagai level pemerintahan yang ada. Dengan demikian, terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara berbagai level pemerintahan tersebut, dan pada akhirnya dapat menciptakan perbedaan ruang lingkup kekuasaan dan tanggungjawab di antara mereka. Oleh karena itu, makna dari perbedaan hak, kewajiban dan tanggungjawab dari berbagai level pemerintahan yang ada merupakan suatu hal yang secara pokok menggambarkan secara nyata kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing level pemerintahan yang ada di suatu negara.
Kewenangan biasa juga disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari atau yang diberikan oleh Undang-undang, yaitu kekuasaan Legislatif dan kekuasaan Eksekutif atau Administratif.  Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum public, misalnya wewenang menerbitkan surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri atau Gubernur Kepala Daerah, sedangkan kewenangan tetap berada ditangan Menteri/Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang, jadi dalm kewenangan terdapat wewenang-wewenang (Rechtsbevoegheden).[13]
Pasal 18 A ayat (1) UUD 1945 memberikan dasar konstitusional pengaturan hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyebutkan bahwa; “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. 
 
Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah yang diamanatkan UUD 1945 dapat dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang khusus mengatur otonomi daerah, atau tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan sektoral lainnya. Hal ini didasarkan pada kenyataaan empiris dan yuridis yang menggambarkan bahwa materi dan cakupan pengaturan tentang hubungan kewenangan pusat dan daerah tidak dapat hanya diatur oleh satu undang-undang. Hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya terkait dengan berbagai sektor lain yang tidak dapat diperlakukan secara sama. Oleh karena itu diperlukan adanya undang-undang yang khusus mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah secara umum serta dibutuhkan pula berbagai undang-undang lainnya yang berkaitan dengan otonomi daerah.
Hubungan kewenangan adalah hubungan antara organ pemerintah daerah, yaitu antara DPRD dengan kepala daerah yang sifatnya satu arah atau dua arah (timbal balik) dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang didistribusikan dan didelegasikan dari pemerintah Pusat sebagai urusan otonomi dan pembantuan. Rumusan tersebut mengandung beberapa hal yaitu:[14]
1.      Hubungan kewenangan antara kedua organ pemerintahan daerah (DPRD dengan Kepala Daerah) adalah hubungan dalam rangka menjalankan otonomi dan tugas pembantuan;
2.      Hubungan  kewenangan tersebut dalam rangka menjalankan urusan di bidang administrasi negara (pemerintahan) bukan dalam bidang ketatanegaraan;
3.      Hubungan kewenangan tersebut dapat bersifat sepihak (searah) dan juga dapat bersifat dua pihak (dua arah) atau timbal balik;
4.      Hubungan kewenangan antara kedua organ tersebut tetap dalam kerangka konsep atau prinsip negara kesatuan;
5.      Dari segi kedudukannya, hubungan kewenangan antara DPRD dengan kepala daerah adalah sederajat dan ttidak saling mendominasi satu sama lainnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat di simpulkan bahwa, hal mendasar dalam hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah adalah melaksanakan urusan pemerintahan di bidang otonomi dan tugas pembantuan.
Bila di telusuri lebih jauh mengenai ketentuan yang mengatur tentang kewenangan DPRD dan Kepala Daerah di berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia tahun1945, maka hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dapat di kelompokkan kedalam beberapa jenis yaitu:
1.      Hubungan Pemilihan; Hubungan pemilihan adalah hubungan yang erat kaitannya dengan pelaksanaan wewenang DPRD sebagai Wakil Rakyat untuk menyeleksi dan memilih Kepala Daerah sebagai organ yang bertanggung jawab melaksanakan pemerintahan sehari-hari. Hubungan ini bersifat satu pihak (satu arah)
2.      Hubungan Perundang-undangan; Hubungan ini merupakan konsekuensi dari pemerintahan yang berotonomi dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan rakyatnya. Hubungan ini bersifat timbal balik (dua arah).
3.      Hubungan Anggaran; Hubungan anggaran yaitu hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam rangka penyusunan RAPBD dan menetapkan APBD serta perubahan APBD. Hubungan ini juga bersifat timbal balik (dua arah).
4.      Hubungan Pengawasan; hubungan pengawasan yaitu hubungan yang dimiliki oleh anggota DPRD dan DPRD secara kelembagaan terhadap Kepala Daerah sebagai pencerminan dari pemerintahan yang demokratis. Hubungan ini bersifat satu pihak (satu arah).
5.      Hubungan Pertanggung jawaban; Hubungan pertanggung jawaban yaitu suatu instrument untuk melihat, mengevaluasi dan menguji sejauh mana penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu periode tertentu terlaksana atau belum sesuai dengan rencaca dan program yang ditetapkan berdasrkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. hubungan ini bersifat satu pihak (satu arah).
6.      Hubungan Administrasi; Hubungan administrasi yaitu hubungan dalam hal pengangkatan pejabat birokrasi daerah, misalnya sekretaris daerah dan sekretaris dewan serta pejabat politik seperti wakil kepala daerah (Wakil Gubernur). Hubungan ini bersifat Administratif.

Berdasarkan jenis-jenis hubungan kewenangan tersebut, maka pada prinsipnya,urgensi hubungan antara DPRD dan Eksekutif meliputi hal-hal seperti; Representatif, Anggaran, Pertanggung jawaban, Pengawasan, Pembinaan peraturan, Pembuatan Peraturan Daerah dan Pengangkatan Sekretaris Daerah. 


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan 
 
1.      Mengingat bahwa kedudukan UUD Negara Republik Indonesia 1945 lebih tinggi dari UU/ peraturan perundangan lainnya maka yang menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi Asas Otonomi dan Asas Pembantuan. Desentralisasi dan Dekonsentrasi bukanlah asas penyelenggaraan pemerintahan dengan alasan, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi mengandung pengertian yang hakikatnya merupakan pemencaran kekuasaan; desentralisasi merupakan proses penyerahan kekuasaan atau wewenang dan dekonsentrasi merupakan cara dalam menjalankan sesuatu. 
 
2.      Hubungan kewenangan adalah hubungan antara organ pemerintah daerah, yaitu antara DPRD dengan kepala daerah yang sifatnya satu arah atau dua arah (timbal balik). Hal mendasar dalam hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah adalah melaksanakan urusan pemerintahan di bidang otonomi dan tugas pembantuan. urgensi hubungan antara DPRD dan Eksekutif meliputi hal-hal seperti; Representatif, Anggaran, Pertanggung jawaban, Pengawasan, Pembinaan peraturan, Pembuatan Peraturan Daerah dan Pengangkatan Sekretaris Daerah.
B.     Saran 
 
1.      Perlu adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai ukuran atau indikator tertentu dalam penyelenggaraan/pelaksanaan suatu urusan pemerintahan agar dapat dilakukan dengan baik dan mencapai sasaran yang diharapkan.
2.       Perlu adanya Publikasi dan Transparansi pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada masyarakat demi tercapainya Good Governance.


* Dipresentasikan pada mata kuliah Hubungan Pusat & Daerah yang diampuh oleh Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum - Joko Setiono, S.H., M.Hum


DAFTAR PUSTAKA


Basah Sjachran, 1986, Tiga Tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung.
Busroh Abu Daud, 1985, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Fauzan Muhammad, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah: Kajian tentang Hubungan Keuangan anatra Pusat dan Daerah, diterbitkan atas kerjasama PKHKD FH UNSOED dengan UII Press.
Manan Bagir,1994, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Manan Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung.
Muslimin Amrah, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung.
M.Situmorang Victor,1994 , Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta.
Syafruddin Ateng, 1983, Pasang Surut Otonomi Daerah, Orasi Disnatalis UNPAR, Bandung.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang  tentang Pemerintah Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor  22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah



[1] Bagir Manan1994, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 19
[2] Muhammad Fauzan 2006, Hukum Pemerintahan Daerah: Kajian tentang Hubungan Keuangan anatra Pusat dan Daerah, diterbitkan atas kerjasama PKHKD FH UNSOED dengan UII Press.  hlm. 35
[3] Victor M. Situmorang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 33
[4] Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, hlm. 4
[5] Victor M. Situmorang, Op. Cit., hlm. 38
[6] Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hlm 10.  
[7] Ibid., hlm 11.  
[8] Ibid., hlm 8-17.
[9] Ibid., hlm. 51
[10] Victor. M Situmorang, Op. Cit., hlm. 60
[11] Sjachran Basah, 1986, Tiga Tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung, hlm. 31
[12] Abu Daud Busroh, 1985, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 125
[13] Ateng Syafruddin, 1983, Pasang Surut Otonomi Daerah, Orasi Diesnatalis UNPAR, Bandung, hlm. 18
[14]  Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, hlm. 266 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar