BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Salah satu persoalan yang mendapat perhatian serius setelah reformasi pada tahun 1998 adalah persoalan pemerintah daerah. Sejarah ketatanegaran Republik Indonesia menunjukkan bahwa sebelum UUD Negara Republik Indonesia 1945 diamandemen persoalan hubungan antara pusat dan daerah sangat tidak jelas. Hal lain yang dapat disimpulkan dari rumusan pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan penjelasannya adalah bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Desentralisasi merupakan salah satu sendi susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik Indonesia.[1] Dengan demikian wajar apabila GBHN menggariskan pengembangan hubungan yang serasi dan tepat antara pusat dan daerah sebagai salah satu sasaran pembangunan nasional di bidang pemerintahan.
Salah satu persoalan yang mendapat perhatian serius setelah reformasi pada tahun 1998 adalah persoalan pemerintah daerah. Sejarah ketatanegaran Republik Indonesia menunjukkan bahwa sebelum UUD Negara Republik Indonesia 1945 diamandemen persoalan hubungan antara pusat dan daerah sangat tidak jelas. Hal lain yang dapat disimpulkan dari rumusan pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan penjelasannya adalah bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Desentralisasi merupakan salah satu sendi susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik Indonesia.[1] Dengan demikian wajar apabila GBHN menggariskan pengembangan hubungan yang serasi dan tepat antara pusat dan daerah sebagai salah satu sasaran pembangunan nasional di bidang pemerintahan.
Hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki empat dimensi
penting untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan kewenangan,
kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama, pembagian
kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan tersebut
akan sangat mempengaruhi sejauhmana Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan
Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat meliputi
Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang diurusi
adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Kedua,
pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan keuangan,
yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga, implikasi
terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah mengharuskan
kehati-hatian mengenai besaran kelembagaan yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan masing-masing. Keempat,
hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang muncul dari
pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara Kesatuan.
Pengaturan
yang demikian menunjukkan bahwa tarik menarik hubungan tersebut
kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir Manan disebut dengan
spanning antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Memperhatikan uraian tersebut diatas maka timbul
beberapa persoalan mengenai pola hubungan antara Pusat dan
Daerah khususnya pada dimensi kewenangan antara DPRD dengan Kepala
Daerah.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang
terkait dengan pola hubungan antara Pusat dan Daerah khususnya
pada dimensi kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah sebagai
berikut:
1.
Apa
yang menjadi teori dan asas penyelenggaraan pemerintah daerah?
2.
Bagaimana
Pola Hubungan Pusat dan Daerah dari dimensi kewenangan Antara DPRD
dengan Kepala Daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teori
dan Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Terbentuknya
satuan pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi adanya konsep
pembagian dan pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri negara
hukum. Sebagaimana diketahui pembagian kekuasaan dikenal adanya
pembagian kekuasaan horizontal dan vertikal. [2] pembagian secara
horizontal yaitu pembagian kekuasaan yang mana kekuasaan pada suatu
negara di bagi dan diserhakan kepada tiga badan, yaitu kekuasaan
eksekutif diserahkan kepada pemerintah, kekuasaan legislatif
diserahkan pada parlemen dan kekuasaan yudikatif diserahkan pada
badan peradilan. Selanjutnya pembagian secara vertikal yaitu
pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintah
lainnya yang lebih rendah “dari segi hierarkis atau susunan
pemerintahan”.
Yang
melata belakangi gagasan dianutnya pembagian kekuasaan secara
vertikal meliputi bebera sebab diantaranya:[3]
1.
Kemampuan
pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas;
2.
Wilayah
negara sangat luas, terdiri dari 3000 pulau-pulau besar dan pulau
kecil;
3.
Pemerintah
tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan
masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara
yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut;
4.
Hanya
rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan dan masalah
yang dihadapi;
5.
Dilihat
dari segi hukum, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasl 18
menjamin adanya daerah dan wilayah;
6.
Adanya
sejumlah urusan pemerintahan yang bersifat kedaerahan;
7.
Daerah
mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk
menyelenggarakan urusan rumah tangganya.
1.
Asas
keahlian, asas keahlian dapat dilihat pada susunan pemerintah pusat.
Semuanya diolah oleh ahli-ahli dalam susunan kementerian-kementerian.
Berdasarkan asasa keahlian maka setiap ursan pemerintah secara benar
dan selektif diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian atau
prfesionalisme di bidangnya.
2.
Asas
kedaerahan, dengan bertambah banyaknya kepntingan-kepentingan yang
harus dieselenggarakan oleh pemerontah pusat karena semakin majunya
masyarakat, maka pemerintah tidak dapat mengurus semua
kepentingan-kepentingan tersebut dengan baik tanpa berpegang pada
asas kedaerahan dalam menjalankan pemerintahan.
Selanjuntnya dalam peraturan perundangan
pemerintah daerah dikenal beberapa asas peyelenggaraan pemerintah
daerah , seperti asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas
pembantuan. Namun sebelum membahas hal tersebut terlebih dahulu
dijelaskan pengertian dari desentralisasi dan dekonsentrasi. Secara
etimologi istilah desentralisai berasal dari bahasa latin yang
berarti De: lepas dan Centrum: pusat, dengan demikian
desntralisasi berarti melepaskan dari pusat. Dari sudut pandang
ketatanegaraan desentralisasi merupaka pelimpahan kekuasaan
pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah
tangganya sendiri.[5] Selanjutnya Bagir Manan menjelaskan bahwa
secara umum desentralisasi merupakan ‘bentuk atau tindakan
memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi, jabatan,
atau pejabat’.[6] Lebih lanjut Bagir Manan berpendapat bahwa
desentralisasi bukan merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan
daerah, melainkan suatu proses.[7] Lebih jelas pada pasal 1 UU No. 5
tahun 1974 merumuskan Desentralisasi sebagai penyerahan urusan
pemrintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah
menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan Dekonsentrasi
merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah
atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat
di daerah. Selanjutnya Tugas Pembantuan merupakan tugas untuk
turut serta dalam melaksanakan urusan/ pemerintahan yang ditugaskan
kepada pemerintah daerah oleh pemerintah arau pemerintah daerah
tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang
menugaskannya.
Namun lebih
jelasnya bahwa dalam desentralisasi dan dekonsentrasi mengandung
ciri-ciri tersendiri sebagai berikut:
1.
Ciri-ciri Desentralisasi
- a. Bentuk pemencaran adalah penyerahan;
- b. Pemencaran terjadi kepada daerah (bukan perorangan);
- c. Yang dipencarkan adalah urusan pemerintahan;
- d. Urusan pemerintahan yang dipencarkan menjadi urusan pemerintah daerah.
2.
Ciri-ciri Dekonsentrasi
- a. Bentuk pemencaran adalah pelimpahan;
- b. Pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perorangan);
- c. Yang dipencarkan (bukan urusan pemerintahan) tetapi wewenang untuk melaksanakan sesuatu;
- d. Yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tanggasendiri.
Memperhatikan
ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa dalam dekonsentrasi,
kekuasaan dan kewenangan urusan pemerintahan hakikatnya masih berada
ditangan pemerintah pusat. Hal ini dapat di simpulkan dari istilah
“pelimpahan” yang membedakan dengan istilah “penyerahan”.
Berdasarkan
hal tersebut maka timbul persoalan hukum berkaitan dengan perbedaan
pengelompokan desentralisasi dan dekonsentrasi dalam perspektif
yuridis formal. Dalam UU yang mengatur pemerintahan daerah
desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan asas penyelenggraan
pemerintahan daerah, tetapi menurut UUD Negara Republik Indonesia
1945 menyebutkan bahwa yang merupakan asas penyelenggaraan
pemerintahan daerah hanya meliputi asas otonomi dan tugas pembantuan.
Namun perlu di ingat bahwa dalam teori perundang-undangan khususnya
mengenai asas-asas perundang-undangan terdapat assa hirarki. Artinya
bahwa peraturan perundangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Konsekuensinya
adalah apabila peraturan yang lebih rendah bertentang degan
peraturan yang lebih tinggi maka peraturan tersebut batal demi
hukum. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 18 UUD Negara Republik
Indonesia 1945 hasil amandemen merupakan landasan konstitusional
pemerintah daerah, yang memuat paradigma baru dan arah politik
pemerintahan daerah sebagai berikut:[8]
1.
Prinsip
daerah mengatur dan mngurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan;
2.
Prinsip
menjalankan otonomi seluas-luasnya ( pasal 18 ayat (5) );
3.
Prinsip
kekhususan dan keragaman daerah ( pasal 18 ayat (1) );
4.
Prinsip
mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan
istimewa (pasal 18 B ayat (1) );
5.
Prinsip
mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya ( pasal 18 B ayat (2) );
6.
prinsip
hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil
( pasal 18 ayat (2) );
7.
prinsip
badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum ( pasal
18 ayat (3) ).
Hilangnya Desentralisasi dan Dekonsentrasi sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan dari pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen merupakan hal yang wajar, mengingat pengertian umum desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisai, jabatan atau pejabat. Dengan demikian dekonsentrasi secara umum dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi, karena mengandung makna pemencaran.[9]
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Desentralisasi dan
Dekonsentrasi bukanlah asas penyelenggaraan pemerintahan dengan
alasan, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi mengandung
pengertian/hakikatnya merupakan pemencaran kekuasaan; desentralisasi
merupakan proses penyerahan kekuasaan atau wewenang dan dekonentrasi
merupakan cara dalam menjalankan sesuatu.
Mengingat
bahwa kedudukan UUD Negara Republik Indonesia 1945 lebih tinggi dari
UU atu bentuk peraturan lainnya, maka yang menjadi asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi:
1.
Asas
Otonomi
Secara etimologi otonomi bersala dari kata oto ( auto = sendiri ) dan nomoi ( nomoi = nomos = undang-undang/aturan) yang berarti mengatur sendiri.
Dalam
tata pemerintahan otonomi diartikan sebagai mengatur atau mengurus
rumah tangga sendiri. Berikut ini beberapa ahli mengemukakan
pengertian otonomi:
a) Van
der Pot menyatakan bahwa pada pokoknya otonomi itu berarti peraturan
dan pemerintahan dari urusan sendiri, yang dalam UUD belanda
dinamakan” rumah tangga sendiri” [10]
b)
Logemann
menyatakan bahwa otonomi berarti memberi kesempatan kepadanya
mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam kekuasaannya
untuk mengurus kepentingan umum (penduduk)
c)
Van
Vollen Hoven menyatakan bahwa otonomi yaitu kekuasaan bertindak
merdeka (Vrij
Beweging)
yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah
sendiri daerahnya itu, adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif
sendiri itulah yang disebut otonomi.
Selain pendapat beberapa ahli diatas pengertian otonomi juga dapat dilihat dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada pasal 18 ayat (2) kata “otonomi” disatukan dengan kata “asas” sehingga dikenal dengan istilah “asas otonomi”, yang menjelaskan anak kalimat sebelumnya, yang berarti “pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus (garis bahaw pen)sendiri urusan pemerintahan”. Berdasarkan hal tersebut “ otonomi” berarti mengatur dan mengurus sendiri.
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat dipahami bahwa hakikat otonomi tidak lain
adalah suatu kebebasan dan kemandirian daerah untuk mengatur sendiri
atau menyelenggarakan urusan serta kepentingannya berdasarkan
inisiatif dan prakarsa serta aspirasi masyarakat daerah. Maka prinsip
otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan pilihan
yang dilakukan secara cerdas oleh para pendiri negara (The
Founding Fathers) pada saat membicarakan dasar negara, meskipun
pada akhirnya pilihan otonomi tidak dijadikan materi muatan UUD
Negara Republik Indonesia 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945, melainkan akan diatur kemudian dalam undang-undang yang
mengatur mengenai pemerintah daerah.
2. Asas Tugas Pembantuan.
Secara etimologi tugas pembantuan merupakan terjemahan dari bahasa belanda Medebewind/Zelfbestuur yang berasal dari kata mede= serta, turut dan bewind= berkuasa atau memerintah. Medebewind pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollen Hoven. Medebewind merupakan peaksanaan peraturan yang disusun oleh alat perlengkapan yang lebih tinggi oleh yang rendah. Zelfbestuur yang merupakan terjelamahan dari bahasa Inggris Selfgovernment yang berarti segala pemerintahan ditiap bagan dari negeri Inggris. Sjachran Basah merumuskan bahwa yang dimaksud dengan tugas pembantuan yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya dari pihak lain secara bebas. Secara bebas artinya bahwa terdapat kemungkinan untuk mengadakan peraturan yang mengkhususkan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, agar sesuai dengan kenyataan sbenarnya di daerah-daerah sendiri.[11]
Berdasarkan
uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam memberikan batasan mengenai
tugas pembantuan secara redaksional terdapat perbedaan namun
substansinya sama, yakni tugas untuk membantu pelaksanaan urusan
pemerintah tingkat atasnya. Hanya saja mengenai hal ini, Bagir Manan
mengklasifikasikan tugas pembantuan tersebut sebagai “kewajiban”,
artinya bahwa kewajiban untuk mempertanggungjawabkan dalam
pelaksanaan urusan tersebut.
Pengertian tugas pemabantuan juga dapat dilihat pada pasal 1 huruf (g) UU NO. 22 tahun 1999 yang menjelaskan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelakasanaannya dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Berdasarkan
pengertian pada pasal tersebut, maka yang terpenting dan perlu di
ingat dalam tugas pembantuan adalah unsur pertanggung jawaban yang di
emban oleh satuan pemerintahan yang “membantu“.
Dalam
menjalankan tugas pembantuan tersebut, urusan-urusan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah itu, masih tetap merupakan
urusan pusat c.q. daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi
urusan rumah tangga yang dimintakan bantuan, akan tetapi bagaimana
daerah otonom yang dimintakan bantuan melakukan tugas pembantuannya.
Dalam hal daerah atau satuan pemerintahan yang dimintakan bantuan
melaksanakan tugas pembantuan, tidak dapat mempertanggung jawabkan
pelaksanaan tugas pembantuan, maka tugas pembantuan tersebut dapat
dihentikan dengan tidak menutup kemungkinan pemerintah yang mempunyai
urusan pemerintahan tersebut meminta ganti kerugian dari daerah yang
tidak bertanggung jawab tersebut.
Memperhatikan hal tersebut mununjukkan asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah merupakan salah satu asas yang sangat penting, bahkan secara tegas dicantumkan dalam pasal 18 ayat (2). Dengan demikian yang perlu diketahui adalah latar belakang atau dasar dipergunakannya asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. berikut ini terdapat 3 latar belakang atau dasar dipergunakannya asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
a)
Keterbatasan
kemampuan pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi dalam hal
yang berhubungan dengan perangkat atau sumber daya manusia maupun
biaya;
b)
Untuk
mencapai daya guna dan hasil guna yang lebih baik dalam
penyelenggaraan pemerintahan;
c)
Sifat
urusan yang dilaksanakan.
Berkaitan
dengan sifat urusan yang dilaksanakan Ateng Syafruddin memberikan
ukuran atau parameter materi muatan yang merupakan tugas pembnatuan,
yang meliputi:
a)
Urusan
terseubut berakibat langsung kepada masyarakat;
b)
Urusan
yang secara tidak langsung tidak memberi dampak terhadap kepentingan
masyarakat, karena semata-mata membantu urusan pusat;
c)
Urusan
yang meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayananyang langsung
memenuhi kebutuhan masyarakat daerah;
d)
Urusan
yang tidak bersifat strategis nasional dan urusan yang tidak
memerlukan keseragaman nasional.
Berdasarkan ukuran atau parameter tersebut, maka penyelenggaraan asas tugas pembantuan dapat mendatangkan keuntungan, baik bagi pemerintah daerah atau pemerintah tingkat atasnya. Bagi pemerintah pusat asas tugas pembantuan sangat meringankan beban, baik biaya, aparatur maupun tenaga yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan urusan pemerintahan sehingga efisiensi dan efektifitas akan mudah dicapai. Sedangkan bagi daerah keuntungan yang didapatkan yaitu pengalaman dalam berkreasi untuk memilih cara dan mekanisme penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan, sehingga pada saat suatu urusan diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan, maka darah tersebut hanya melanjutkan dan menyempurnakannya.
Namun
terkait hal diatas Bagir Manan menilai bahwa, selain tidak sesuai
dengan perkembangan, ada menfaat lain untuk tidak menarik garis
pemisah yang tegas antara otonomi ‘dan tugas pembantuan. Tugas
pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan “terminal”
menuju “penyerahan penuh” suatu urusan kepada daerah. dan tugas
pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada
penyerahan penuh.
B. Pola Hubungan Pusat dan Daerah dari Dimensi Kewenangan antara DPRD
dengan
Kepala Daerah
Sebelum
melangkah lebih jauh mengenai pola hubungan pusat dan daerah dari
dimensi kewenangan maka ada baiknya terlebih dahulu perlu diketahui
pengertian atau batasan mengenai kewenangan.
Kewenangan
berasal dari kata dasar “wewenang” yang bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan. Menurut Bagir Manan Kekuasaan hanya menggambarkan
hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum sebagimana
dikemukakan J.G Steenbeek, bahwa wewenang/kewenangan yang didalamnya
terkandung hak dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah,
hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan
mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban mempunyai dua pengertian yaitu
secara horizontal dan vertikal.[12]
Salah
satu konsekuensi dianutnya sistem otonomi yang menyerahkan kekuasaan
pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah adalah perlunya
pengaturan hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah
sehingga otonomi daerah di satu sisi dapat dijalankan, dan di sisi
lain prinsip negara kesatuan tidak dilanggar. Dengan adanya dasar
kewenangan yang sah maka setiap tindakkan dan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh setiap level pemerintahan dapat dikategorikan sebagai
tindakan dan perbuatan hukum yang sah. Sebaliknya, apabila tanpa ada
dasar kewenangan, maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh setiap level pemerintah dapat dikategorikan sebagai
tindakkan dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah)
dan dapat juga dikatakan sebagai pelanggaran terhadap asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Secara
khusus, kewenangan pemerintahan juga berkaitan dengan hak, kewajiban,
dan tanggung jawab diantara berbagai level pemerintahan yang ada.
Dengan demikian, terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara
berbagai level pemerintahan tersebut, dan pada akhirnya dapat
menciptakan perbedaan ruang lingkup kekuasaan dan tanggungjawab di
antara mereka. Oleh karena itu, makna dari perbedaan hak, kewajiban
dan tanggungjawab dari berbagai level pemerintahan yang ada merupakan
suatu hal yang secara pokok menggambarkan secara nyata kewenangan
yang dimiliki oleh masing-masing level pemerintahan yang ada di suatu
negara.
Kewenangan
biasa juga disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari atau
yang diberikan oleh Undang-undang, yaitu kekuasaan Legislatif dan
kekuasaan Eksekutif atau Administratif. Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum public, misalnya
wewenang menerbitkan surat izin dari seorang pejabat atas nama
Menteri atau Gubernur Kepala Daerah, sedangkan kewenangan tetap
berada ditangan Menteri/Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini
terdapat pendelegasian wewenang, jadi dalm kewenangan terdapat
wewenang-wewenang (Rechtsbevoegheden).[13]
Pasal
18 A ayat (1) UUD 1945 memberikan dasar konstitusional pengaturan
hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
menyebutkan bahwa; “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi
dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, untuk mengatur hubungan kewenangan pusat dan
daerah yang diamanatkan UUD 1945 dapat dilakukan melalui berbagai
peraturan perundang-undangan, baik yang khusus mengatur otonomi
daerah, atau tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan
sektoral lainnya. Hal ini didasarkan pada kenyataaan empiris dan
yuridis yang menggambarkan bahwa materi dan cakupan pengaturan
tentang hubungan kewenangan pusat dan daerah tidak dapat hanya diatur
oleh satu undang-undang. Hubungan keuangan, pelayanan umum, serta
pemanfaatan sumber daya terkait dengan berbagai sektor lain yang
tidak dapat diperlakukan secara sama. Oleh karena itu diperlukan
adanya undang-undang yang khusus mengatur hubungan kewenangan pusat
dan daerah secara umum serta dibutuhkan pula berbagai undang-undang
lainnya yang berkaitan dengan otonomi daerah.
Hubungan
kewenangan adalah hubungan antara organ pemerintah daerah, yaitu
antara DPRD dengan kepala daerah yang sifatnya satu arah atau dua
arah (timbal balik) dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang
didistribusikan dan didelegasikan dari pemerintah Pusat sebagai
urusan otonomi dan pembantuan. Rumusan tersebut mengandung beberapa
hal yaitu:[14]
1.
Hubungan kewenangan antara kedua organ pemerintahan daerah (DPRD
dengan Kepala Daerah) adalah hubungan dalam rangka menjalankan
otonomi dan tugas pembantuan;
2.
Hubungan kewenangan tersebut dalam rangka menjalankan urusan di
bidang administrasi negara (pemerintahan) bukan dalam bidang
ketatanegaraan;
3.
Hubungan kewenangan tersebut dapat bersifat sepihak (searah) dan juga
dapat bersifat dua pihak (dua arah) atau timbal balik;
4.
Hubungan kewenangan antara kedua organ tersebut tetap dalam kerangka
konsep atau prinsip negara kesatuan;
5.
Dari segi kedudukannya, hubungan kewenangan antara DPRD dengan kepala
daerah adalah sederajat dan ttidak saling mendominasi satu sama
lainnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat di simpulkan bahwa, hal mendasar dalam hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah adalah melaksanakan urusan pemerintahan di bidang otonomi dan tugas pembantuan.
Bila di
telusuri lebih jauh mengenai ketentuan yang mengatur tentang
kewenangan DPRD dan Kepala Daerah di berbagai peraturan
perundang-undangan berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia
tahun1945, maka hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah
dapat di kelompokkan kedalam beberapa jenis yaitu:
1.
Hubungan Pemilihan; Hubungan pemilihan adalah hubungan yang erat
kaitannya dengan pelaksanaan wewenang DPRD sebagai Wakil Rakyat untuk
menyeleksi dan memilih Kepala Daerah sebagai organ yang bertanggung
jawab melaksanakan pemerintahan sehari-hari. Hubungan ini bersifat
satu pihak (satu arah)
2.
Hubungan Perundang-undangan; Hubungan ini merupakan konsekuensi dari
pemerintahan yang berotonomi dalam rangka mengatur dan mengurus rumah
tangganya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan rakyatnya. Hubungan
ini bersifat timbal balik (dua arah).
3.
Hubungan Anggaran; Hubungan anggaran yaitu hubungan kewenangan antara
DPRD dengan Kepala Daerah dalam rangka penyusunan RAPBD dan
menetapkan APBD serta perubahan APBD. Hubungan ini juga bersifat
timbal balik (dua arah).
4.
Hubungan Pengawasan; hubungan pengawasan yaitu hubungan yang dimiliki
oleh anggota DPRD dan DPRD secara kelembagaan terhadap Kepala Daerah
sebagai pencerminan dari pemerintahan yang demokratis. Hubungan ini
bersifat satu pihak (satu arah).
5.
Hubungan Pertanggung jawaban; Hubungan pertanggung jawaban yaitu
suatu instrument untuk melihat, mengevaluasi dan menguji sejauh mana
penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu periode tertentu terlaksana
atau belum sesuai dengan rencaca dan program yang ditetapkan
berdasrkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. hubungan ini
bersifat satu pihak (satu arah).
6. Hubungan Administrasi; Hubungan administrasi yaitu hubungan dalam hal pengangkatan pejabat birokrasi daerah, misalnya sekretaris daerah dan sekretaris dewan serta pejabat politik seperti wakil kepala daerah (Wakil Gubernur). Hubungan ini bersifat Administratif.
6. Hubungan Administrasi; Hubungan administrasi yaitu hubungan dalam hal pengangkatan pejabat birokrasi daerah, misalnya sekretaris daerah dan sekretaris dewan serta pejabat politik seperti wakil kepala daerah (Wakil Gubernur). Hubungan ini bersifat Administratif.
Berdasarkan
jenis-jenis hubungan kewenangan tersebut, maka pada
prinsipnya,urgensi hubungan antara DPRD dan Eksekutif meliputi
hal-hal seperti; Representatif, Anggaran, Pertanggung jawaban,
Pengawasan, Pembinaan peraturan, Pembuatan Peraturan Daerah dan
Pengangkatan Sekretaris Daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Mengingat
bahwa kedudukan UUD Negara Republik Indonesia 1945 lebih tinggi dari
UU/ peraturan perundangan lainnya maka yang menjadi asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi Asas Otonomi dan Asas
Pembantuan. Desentralisasi dan Dekonsentrasi bukanlah asas
penyelenggaraan pemerintahan dengan alasan, baik desentralisasi
maupun dekonsentrasi mengandung pengertian yang hakikatnya merupakan
pemencaran kekuasaan; desentralisasi merupakan proses penyerahan
kekuasaan atau wewenang dan dekonsentrasi merupakan cara dalam
menjalankan sesuatu.
2.
Hubungan
kewenangan adalah hubungan antara organ pemerintah daerah, yaitu
antara DPRD dengan kepala daerah yang sifatnya satu arah atau dua
arah (timbal balik). Hal mendasar dalam hubungan kewenangan antara
DPRD dengan Kepala Daerah adalah melaksanakan urusan pemerintahan di
bidang otonomi dan tugas pembantuan. urgensi hubungan antara DPRD dan
Eksekutif meliputi hal-hal seperti; Representatif, Anggaran,
Pertanggung jawaban, Pengawasan, Pembinaan peraturan, Pembuatan
Peraturan Daerah dan Pengangkatan Sekretaris Daerah.
B.
Saran
1.
Perlu adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai ukuran atau
indikator tertentu dalam penyelenggaraan/pelaksanaan suatu urusan
pemerintahan agar dapat dilakukan dengan baik dan mencapai sasaran
yang diharapkan.
2.
Perlu adanya Publikasi dan Transparansi pertanggung jawaban
Kepala Daerah kepada masyarakat demi tercapainya Good Governance.
*
Dipresentasikan pada mata kuliah Hubungan Pusat & Daerah yang
diampuh oleh Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum - Joko
Setiono, S.H., M.Hum
DAFTAR PUSTAKA
Basah
Sjachran, 1986, Tiga Tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung.
Busroh
Abu Daud, 1985, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Fauzan
Muhammad, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah: Kajian tentang Hubungan
Keuangan anatra Pusat dan Daerah, diterbitkan atas kerjasama
PKHKD FH UNSOED dengan UII Press.
Manan
Bagir,1994, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Manan
Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Juanda,
2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan Kewenangan
antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung.
Muslimin
Amrah, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni,
Bandung.
M.Situmorang
Victor,1994 , Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar
Grafika, Jakarta.
Syafruddin
Ateng, 1983, Pasang Surut Otonomi Daerah, Orasi Disnatalis UNPAR,
Bandung.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang tentang Pemerintah Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar