Laman

Sabtu, 27 April 2013

PENERAPAN HUKUM PROGRESIF TERHADAP HUKUM PIDANA DI INDONESIA *


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap mudah dan sederhana. Begitu pula dalam mewujudkan masyarakat madani, tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, Ketika penegak hukum dihadapkan pada suatu tindak pidana yang tingkat pembuktiannya sangat sulit dan kompleks, tidak mustahil produk putusan pengadilan yang dihasilkan pun dapat berakibat keliru atau tidak tepat. Apabila hal tersebut terjadi akan membawa dampak penegakan hukum yang dapat mencederai rasa keadilan bagi pihak yang terkait atau masyarakat tertentu. Akibatnya muncul gelombang perasaan ketidakpuasan masyarakat yang berpuncak pada reformasi hukum. Sejalan dengan asas yang dianut dalam hukum acara pidana, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum asas ini lebih dikenal dengan istilah isonamia atau equality before the law. Secara universal prinsip atau asas tersebut diakui sebagai perwujudan dari suatu Negara hukum (rechstaat), dan Indonesia sebagai Negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) undang-undang Dasar 1945, pengakuan prinsip tersebut menggambarkan bahwa Indonesia menjunjung tinggi akan hak-hak asasi manusia.
Dalam situasi hukum perundang-undangan yang elitis demikian, maka apabila penerapan hukum perundang-undangan dilakukan dengan menggunakan konsep hukum sebagaimana yang dipahami dalam tradisi berpikir legal-positivism; yang memandang hukum hanya sebatas pada lingkaran peraturan perundang-undangan dan yang melakukan pemaknaan perundang-undangan secara formal-tekstual; dengan mengabaikan nilai-nilai sosial dalam masyarakat, maka yang akan terjadi adalah hukum yang mengabdi kepada kepentingan elit, bukan kepada kepentingan masyarakat luas, sehingga tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan akan semakin jauh dari apa yang diharapkan. Apabila Negara hukum (rechstaat) itu sudah dibaca oleh pelaku dan penegak hukum sebagai Negara undang-undang dan Negara prosedur, maka negeri ini sedang mengalami kemerosotan serius.[1]  Untuk itu, penerapan hukum memerlukan adanya konsep hukum lain, yang lebih memungkinkan pencapaian tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Konsep hukum progresif, yang memaknai hukum untuk manusia dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, merupakan alternatif yang dapat dipergunakan dalam penerapan hukum, yang lebih memungkinkan untuk mewujudkan tujuan hukum yang di cita-citakan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep  penemuan Hukum Progresif?
2.      Bagaimana penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia?
                                                      

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Penemuan Hukum Progresif
Pemahaman terhadap konsep hukum progresif tidak terlepas dari kondisi pemikiran hukum yang melatarbelakangi lahirnya hukum progresif. Pemahaman hukum menurut hukum progresif menegaskan bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[2] Dalam konsep hukum progresif, posisi manusia menjadi sentral utama dalam menilai hukum apakah baik atau buruk, benar atau sebaliknya.
Kebutuhan masyarakat terhadap peran hukum dalam memberikan kemanfaatan, kepastian hukum dan kedilan semakin jauh dari kenyataan, mengingat banyaknya  persoalan hukum yang tidak terselesaikan dengan baik. Banyaknya kasus korupsi yang terkuak di halayak ramai namun tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan menjadi pemicu utama lahirnya pemikiran hukum yang progresif. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin pudar sehingga hukum tidak lagi dianggap sebagai panglima dalam setiap persoalan yang menimpa bangsa ini. Sungguh sangat ironis bagi Negara yang mendasarkan dirinya pada hukum tetapi tidak dapat menegakkan hukum karena kepercayaan dari masyarakat tidak ada.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang terus berubah, pada kenyataannya paradigma tersebut memunculkan sebuah stagnasi di abad 20 saat tidak mampu memberikan solusi dalam zaman postmodernisme.[3] Implikasinya ketika manusia dalam setiap proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan kebutuhan kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut (hukum harus responsif). Hal inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum progresif dengan hukum positivis yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jika selama ini hukum selalu tertinggal jauh terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, maka hukum progresif lebih membuka diri dan respon  terhadap perubahan dan tidak terikat pada hukum tertulis. Dalam hal ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan.[4] Dengan demikian peran hukum lebih menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keadilan dan kesejahteraan. Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya mencerminkan standar baku dari apa yang baik dan tidak baik, adil dan yang tidak adil. Perihal tersebut dalam konteks ke Indonesiaan tidak boleh terlepas dari jati diri bangsa yang tercermin dalam pancasila. Nilai-nilai pancasila merupakan nilai bangsa yang diterima semua lapisan masyarakat, semua generasi bahkan semua budaya sehingga sangat layak dijadikan standar utama dalam kehidupan hukum berbangsa dan bernegara.
Mengingat ketentuan hukum yang selalu tertinggal dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat maka menjadi kaharusan bagi hakim melakukan kajian hukum komprehensif yang disebut penafsiran hukum. Konsepsi hakim dalam melakukan penafsiran hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua) teori yaitu teori penemuan hukum yang heteronom dan teori penemuan  hukum yang otonom.[5] Teori penemuan hukum heteronom menempatkan hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi) sedangkan teori penemuan hukum otonom menempatkan hakim pada satu kebebasan untuk memahami dan mengaitkan hukum sesuai perkembangan masyarakat. Perbedaan yang mendasar dari kedua teori tersebut terletak pada sejauh mana hakim terikat pada ketentuan hukum tertulis.
Dalam bahasa yang hampir sama Van Apeldoorn menjelaskan bahwa hakekat dari kegiatan penafsiran itu sebagai suatu usaha mencari kehendak pembuat undang-undang yang pernyataannya kurang jelas. Fungsi dari penafsiran hukum pada dasarnya ada 4 (empat) yaitu sebagai berikut:[6]
1.       Untuk memahami makna asas atau kaidah hukum,
2.      Menghubungkan suatu fakta hukum dengan kaidah hukum,
3.      menjamin penerapan atau penegakan hukum yang dapat dilakukan secara tepat, benar dan adil
4.      Mempertemukan antara kaidah hukum dengan perubahan-perubahan sosial agar kaidah hukum tetap aktual mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan perubahan masyarakat.[7]
Penggunaan penafsiran sebagai pengaruh perkembangan masyarakat pada dasarnya membuka peluang bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum secara progresif. Hakim tidak hanya menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tetapi juga mengikuti perkembangan penghayatan nilai-nilai tersebut di masyarakat. Di sinilah titik temu antara penemuan hukum dengan hukum progresif yang memberikan kemudahan serta kemungkinan bagi hakim untuk menghasilkan berbagai terobosan baru dalam memutus perkara. Pandangan tersebut juga di tegaskan oleh Harifin A. Tumpa dengan mengataka:
Hukum itu sangat luas dan kompleks, karena mengikuti seluruh segi kehidupan manusia dalam masyarakat. Hukum itu tidak pernah berhenti berkembang sejalan berkembangnya kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, seorang hakim tidak boleh ketinggalan dan selalu harus mengikuti perkembangan hukum itu….tetapi hakim harus mampu menggali niali-nilai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat tersebut.[8]

Dalam hal inilah hakim menjalankan perannya sebaga lembaga yudisial dengan melakukan penafsiran hukum terhadap aturan yang ada untuk menghasilkan aturan hukum sebagai dasar untuk mengadili. Dengan adanya kebebasan untuk melakukan penafsiran, maka hakim dapat juga melakukan penemuan hukum di dalam setiap penafsirannya. Dari kata “penemuan hukum” secara implisit menunjukkan adanya hukum yang telah berlaku dalam masyarakat, tetapi belum diketahui secara jelas sehingga dibutuhkan usaha untuk mendapatkannya.

B.     Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia

Dalam tradisi pemikiran legal-positivism, yang banyak dianut oleh Negara demokrasi sekarang ini, hukum dikonsepsikan sebagai produk legislasi. Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses legislasi nasional. Hukum berlaku, semata-mata karena telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tanpa melihat apakah isinya memuat nilai-nilai keadilan atau tidak. Dalam sistem ini, pelaku hukum (hakim dan birokrasi), sebagaimana doktrin dalam analytical jurisprudence, hanya bertugas sebagai terompet atau corong undang-undang.
Penggunaan pemikiran legal-positivism, dalam situasi hukum perundang-undangan yang elitis, akan menyebabkan kesenjangan (ketidakadilan ekonomi) dan kemiskinan semakin meluas, sebab kemacetan demokrasi yang terjadi dibawah tekanan Neoliberalisme, akan menyebabkan hukum yang dihasilkan dari proses legislasi akan cenderung berpihak pada kepentingan elit dan mengabaikan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada masyarakat. Inilah hukum progresif, yang menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Hukum progresif ini, ditawarkan untuk mengatasi krisis di era global sekarang ini. Dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan perbaikan. Para pelaku hukum, harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat harus menjadi orientasi utama dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Ini berbeda dengan tradisi analytical jurisprudence yang cenderung menepis dunia luar dirinya; seperti manusia, masyarakat dan kesejahteraannya.[9]
Dalam pandangan hukum progresif, pelaku hukum harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan krusial dalam hal hubungan manusia, termasuk keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas; baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks ini, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan). Hukum progresif yang menghendaki pembebasan dari tradisi keterbelengguan, memiliki kemiripan dengan pemikiran Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Usaha social engineering, dianggap sebagai kewajiban untuk menemukan cara-cara yang paling baik untuk memajukan atau mengarahkan masyarakat.[10]  Bukti monumental tentang penggunaan hukum sebagai alat perubahan sosial, terjadi di Amerika Serikat pada 1954. Keputusan Mahkamah Agung Amerika untuk mengubah perilaku orang kulit putih Amerika, yang sebelumnya menaruh sikap prasangka pada orang-orang Negro. Untuk menghilangkan sikap tersebut, Mahkamah Agung melalui putusannya, bahwa pemisahan ras di sekolah-sekolah negeri, bertentangan dengan konstitusi Amerika.[11]
Edwin M. Schur, melihat putusan tersebut sebagai upaya pengangkatan suatu moralitas ke dalam bentuk perundang-undangan Amerika. Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks dari pada teks aturan, maka diskresi mempunyai tempat yang penting dalam penyelenggaraan hukum. Dalam konteks diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada pada mereka berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral dari pada ketentuan-ketentuan formal selain itu diskresi merupakan faktor wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggungjawab dengan mengutamakan pertimbangan moral dari pada peraturan abstrak. Diskresi dilakukan karena dirasakan sarana hukum kurang efektif dan terbatas sifatnya dalam mencapai tujuan hukum dan sosial.[12]
Oleh karena itu kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif, sangat diperlukan untuk memandu pemaknaan yang kreatif terhadap aturan-aturan yang demikian itu. Penerapan hukum progresif, yang pada dasarnya terarah kepada para pelaku hukum ini, diharapkan akan dapat mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi, yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak. Pintu masuk bagi penerapan hukum progresif dalam praktik pengadilan di Indoensia, secara formal telah diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.[13] Ini berarti bahwa hakim tidak sekedar bertugas menerapkan peraturan dengan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan. Di sini kreativitas hakim menjadi sangat menentukan.
Dalam pelaksanaan kontrak, menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia pada awalnya sangat mengedepankan asas facta sunt servanda dari pada asas iktikad baik. Mengedepankan asas facta sunt servanda, berarti mengedepankan isi perjanjian sesuai dengan apa yang secara formal sudah disepakati oleh para pihak secara sah, dan itulah yang oleh pengadilan diberlakukan sebagai undang-undang bagi para pihak. Ini merupakan gambaran dari cara berpikir yang legal-positivism, yang hanya memaknai aturan (dalam hal ini perjanjian) secara formal tekstual, yang mengabaikan keadilan. Namun belakangan, sikap pengadilan Indonesia ternyata bergeser ke arah yang lebih mengedepankan iktikad baik.
Mengedepankan iktikad baik,[14] berarti pengadilan tidak lagi terbelenggu untuk mengikuti teks perjanjian, melainkan lebih melihat pada nilai-nilai kepatutan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini merupakan gambaran bahwa dalam memutus sengketa pelaksanaan kontrak, pengadilan Indonesia, telah bergeser menjadi progresif.
Dengan demikian tradisi berpikir yang progresif ini perlu terus didorong, agar benar-benar menjadi budaya hukum dikalangan para penegak hukum terutama para hakim. Apabila para hakim, sudah tidak lagi terbelenggu dengan tradisi berpikir legal-positivism, maka tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, akan menjadi lebih memungkinkan, sekalipun hukum perundang-undangan yang dihasilkan dalam proses legislasi cenderung elitis.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Penggunaan penafsiran sebagai pengaruh perkembangan masyarakat pada dasarnya membuka peluang bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum secara progresif. Penemuan hukum secara progresif tidak terlepas dari keinginan hati nuranih untuk menegakkan keadilan dengan berpijak pada nilai-nilai hukum di masyarakat. Paradigm yang menempatkan hakim sebagi terompet atau corong undang-undang sangat tidak benar. Secara khusus ditegaskan dalam UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan menekankan tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan.
2.      Penerapan hukum progresif, mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi, yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak. Pintu masuk bagi penerapan hukum progresif dalam praktik pengadilan di Indoensia, secara formal telah diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan. Praktik pengadilan di Indonesia, menunjukkan mulai berkembangnya cara-cara penerapan hukum yang progresif, namun tradisi legal-positivism masih menjadi mainstream para hakim.
B.     Saran atau Rekomendasi
Kedepannya Para aparat penegak hukum (Hakim) dapat menerapkan penemuan hukum progresif dengan tetap mendasarkan diri pada nilai-nilai pancasila sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

* Pemenuhan tugas akhir pada mata kuliah Teori Hukum yang diampuh oleh Prof. Dr. Sudjito, SH, M.Si

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rifai,. 2001,  Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.


A.M. Mujahidin, 2007, “Hukum Progresif: Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum di Indonesia”, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April.


A. Tumpa Harifin, 2010, ” Apa yang Diharapkan Masyarakat dari Seorang Hakim”, Varia Peradilan, Tahun XXV, No. 298, September.


Kusuma Mahmud, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif “Terapi Paradikmatik Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia, antonyLib, Yogyakarta.

Manan Bagir, 2009 “Beberapa Catatan tentang Penafsiran”Varia Peradilan, Tahun XXIV, No. 285 Agustus.


Rahardjo Satjipto, 2009, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta.


                     , 2008, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia & Hukum, Buku Kompas, Jakarta.

                       , 2007,“Konsep dan Karakter Hukum Progresif ”, Makalah Seminar Nasional I HukumProgresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu Hukum Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang.

                        , 1983, Hukum dan Perubahan Sosial : suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung.


                         ,1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung.

Putusan MA No.1253 K/Sip/1973 dalam perkara antara Zainul Abidin v A.M. Muhammad Zainuddin, Putusan MA No.3431 K/Pdt 1985 dalam perkara Sri Setyaningsih v Ny. Boesono dan R Boesono, dan Putusan MA No.1531 K/Pdt/1997 dalam perkara Hetty Esther v Anak Agung Sagung Partini.
Republik Indonesia, UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jurnal Hukum No. 2 VOL. 17 APRIL 2010: 233 – 248



[1]Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif “Terapi Paradikmatik Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia, antonyLib, Yogyakarta, 2009,  hlm. vi
[2] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2
[3] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia & Hukum, Buku Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 137.
[4] A.M. Mujahidin, “Hukum Progresif: Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum di Indonesia”, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April, 2007, hlm. 52.
[5] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.19
[6] Bagir manan, “Beberapa Catatan tentang Penafsiran”Varia Peradilan, Tahun XXIV, No. 285 Agustus, 2009, hlm. 5

[8] Harifin A. Tumpa,” Apa yang Diharapkan Masyarakat dari Seorang Hakim”, Varia Peradilan, Tahun XXV, No. 298, September, 2010, hlm. 6
[9] Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakter Hukum Progresif ”, Makalah Seminar Nasional I HukumProgresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu Hukum Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, Desember, 2007.

[10]Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial : suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 16

[11] 244 Jurnal Hukum No. 2 VOL. 17 APRIL 2010: 233 – 248
[12] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 79
[13] Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[14] Diantaranya, Putusan MA No.1253 K/Sip/1973 dalam perkara antara Zainul Abidin v A.M. Muhammad Zainuddin, Putusan MA No.3431 K/Pdt 1985 dalam perkara Sri Setyaningsih v Ny. Boesono dan R Boesono, dan Putusan MA No.1531 K/Pdt/1997 dalam perkara Hetty Esther v Anak Agung Sagung Partini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar