Laman

Sabtu, 27 April 2013

PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN *


BAB I
PENDAHULUAN

A.             Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara hokum sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Maka setiap tindakan yang bertentangan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar hukum yang paling hakiki, harus selalu ditegakan guna mencapai cita-cita dan tujuan Negara Indonesia.
 Dengan perkembangan jaman yang semakin pesat membuat banyak pergeseran nilai morall dan social dalam masyarakat. Salah satunya perubahan pola hidup, tingkah laku dan tingkat kesopanan yang semakin buruk (mengalami degradasi moral). tidak terkecuali di Negara Indonesia yang notabenenya menjunjung tinggi nilai–nilai moral dan social dalam masyarakat. Dampak globalisasi dan modernisasi mengakibatkan terjadinya westernisasi di Indonesia, dimana pola hidup masyarakat yang awalnya menjunjung tinggi budaya timur mengalami pergeseran ke pola hidup budaya barat (dampak westernisasi).
Dalam berkehidupan di dalam masyarakat, setiap orang tidak akan lepas dari adanya interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sebagai mahluk sosial yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa, manusia tidak akan dapat hidup apabila tidak berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan seringnya manusia melakukan interaksi satu sama lain, sehingga dapat menimbulkan hubungan antara dua individu atau lebih yang bersifat negative dan dapat menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini sering disebut dengan tindak pidana.
Terjadinya suatu tindak pidana terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat didalamnya, yaitu Pelaku dan Korban. Bentuk atau macam dari suatu tindak pidana sangatlah banyak, misalnya tindak pidana pembunuhan, perampokan, pencurian, penggelapan, pencemaran nama baik, pencabulan serta pemerkosaan dan masih banyak yang lainnya. Tindak pidana pemerkosaan yang terjadi dalam masyarakat didorong oleh berbagai faktor. Diantaranya factor dari peran   pelaku dan factor dari korban itu sendiri. Namun dalam makalah ini kami akan mengkaji peranan korban sehingga menimbulkan terjadinya tindak pidana pemerkosaan.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah peran korban terhadap terjadinya pemerkosaan ditinjau dari aspek  Viktimologi?
  

BAB II
PEMBAHASAN

A.          Pengertian Viktimologi, Korban dan Pemerkosaan
1.      Pengertian viktimologi
Menurut Arif Gosita mengenai Viktimologi, adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan social.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi. Pengertian lain dari Viktimologi adalah suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari masalah korban kriminal sebagai suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Dan viktimologi merupakan bagian dari kriminologi yang memiliki obyek study yang sama, yaitu kejahatan atau korban kriminal (http://replaz.blogspot.com/2008/09/viktimologi.html)
Menurut (Dikdik M Arief Mansur, 2006: 34) viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Dari beberapa devinisi tersebut tampak jelas bahwa yang menjadi objek kajian viktimologi adalah mengenai korban. Selain itu viktimologi juga mempelajari mengenai perlindungan yang harus diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat yang telah menjadi korban tindak pidana, tetapi disini viktimologi juga mempelajari peranan korban terhadap terjadinya tindak pidana khususnya tindak pidana pemerkosaan. Peranan korban yang dimasud itu seperti apa yang dilakukan oleh korban, dan dalam tindakan yang dilakukan oleh korban tersebut terdapat hubungan yang penting sehingga terjadinya tindak pidana.
2.      Pengertian Korban
Perlunya pengertian korban dimuat dalam pembahasan ini yaitu untuk membantu menentukan secara jelas batas-batas apa yang menjadi korban.
Korban adalah mereka yang menderita fisik, mental, sosial sebagai akibat tindakan jahat mereka yang mau memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang menderita. (Arif Gosita, 1983: 79)
Berbeda dengan Arif Gosita, menurut Muladi yang dimaksud dengan korban adalah orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik maupun mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hokum pidana di masing-masng Negara termasuk penyalah gunaan kekuasaan. (Mansur dan Gultom, 2007:47)
Lebih luas di jabarkan (Abdussalam, 2010: 6-7) mengenai definisi dan jenis-jenis korban sebagai berikut:
1)      Korban perseorangan, adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materil maupun non materil.
2)      Korban institusi, adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam.
3)      Korban lingkungan hidup, adalah setiap lingkungan alam yang di dalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tesebut yang telah mengalami kerusakan yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggungjawab.
4)      Korban masyarakat, bangsa dan Negara, adalah masyarakat yang diperlakukan disk riminatif tidak adil, tmpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya.
Dalam makalah ini konsep kajian kami mengenai korban yaitu korban perseorangan/ individu yang dapat mengalami tindak pidana pemerkosaan (asuila). Selanjutnya Tipilogi Korban Kejahatan, dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu:
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu;
1)      Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
2)      Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
3)      Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
4)       Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
5)      False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :
1)      Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
2)      Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3)      Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4)        biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak berdaya.
5)        Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6)      Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7)      Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik (Lilik Mulyadi,2003:123-125).
Mendelsohn membuat suatu tipologi korban yang di klasifikasikan menjadi 6 tipe antar lain:
1.      The Completely innocent victim. Korban yang sama sekali tidak bersalah oleh Mendelsohn di anggap sebagai korban ideal yang cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban.
2.      The victim with minor guilty and victim due ti his ignorance. Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan kelalaian, dapat di contohkan, seorang wanita yang tingkah lakunya menjadi provokasi bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana pemerkosaan.
3.      The victim as guilty as offender and voluntary victim. Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban suka rela. Sukarela oleh Mendelsohn seperti, bunuh diri, bunuh diri dengan Adhesi, Euthanasia, bunuh diri yang dilakukan oleh suami istri.
4.      The victim more guilty than the offender. Maksudnya korban yang memancing dan atau menggoda seorang untuk berbuat jahat, juga korban lalai, yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan.
5.      The most guilty and the victim as is gultu  alone. Korban yang sangat salah dan korban yang salah sendirian. Misalanya, terjadi pada korban yang sangat agresif terlebih dahulu melakukan kejahatan namun akhirnya justru ia sendiri yang menjadi korban.(contoh penyerang yang mati akibat pembelaan diri dari orang lain yang diserangnya).
6.      The simulating victim and the imagine as victim. Dalam hal ini Korban pura-pura dan korban Imajinasi contohnya pada mereka yang mengaku menjadi korban demi kepentingan tertentu atau orang menjadi paranoid,hysteria, atau pikun.
3.      Pengertian Pemerkosaan
Dalam kamus bahasa Indonesia kata perkosa diartikan dengan paksa, renggut (secara paksa). Selanjutnya menurut Soetandyo Wignjosoebroto pemerkosaan adalah suatu usaha melapiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. (Abdul Wahid dan Muh. Irfan. 2001:40).
B.            Peranan Korban Terhadap Terjadinya Pemerkosaan Ditinjau Dari Aspek Viktimologi
Sebelum membahas mengenai peranan korban terhadap kejahatan kami terlebih dahulu akan membahas mengenai hubungan korban dengan kejahatan. Kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Pada umumnya dikatakan hubungan korban dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat kejahatan. Pihak tersebut menjadi korban karena ada pihak lain yang melakukan kejahatan. Hal lain yang disepakati dalam haubungan ini yang terpenting pihak korban adalah pihak yang di rugikan dan pelaku adalah pihak yang mengambil untung atau merugikan korban. Namun lain halnya dalam makalah ini, korban yang dimaksud adalah korban yang tidak murni dalam artian korban turut sebagai penyebab terjadinya kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut dengan melalui makalah ini kami akan mengemukakan peranan korban dalam kejahatan pemerkosaan namun terlebih dahulu akan disebutkan faktor-faktor terjadinya tindak pidana pemerkosaan yaitu sebagai berikut:
1.      Adanya kesempatan
2.      Niat (peran pelaku)
3.      Pergaulan
4.      Peran korban
Menurut Hentig yang dikutip (Rena Yulia, 2010: 81) beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah:
1.      Tindakan kejahatan memang dikehendaki sikorban untuk terjadi.
2.      Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan sikorban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.
3.      Akibat yang merugikan sikorban mungkin merupakan kerja sama antara pelaku dan korban.
4.      Kerugian akibat tindak kejahatan atau terjadinya kejahatan akibat adanya provokasi oleh sikorban.
Dalam kasus pemerkosaan, salah satu penyebab terjadinya kejahatan ini karena adanya provokasi dari sikorban. Provokasi yang di maksud dalam hal ini ada dua bentuk provokasi. Pertama, cara berpakaian sikorban yang berperilaku seksi (vulgar) atau buka-bukaan . Kedua pola hidup sikorban yang dekat dengan dunia gemerlap malam. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hentig pada poin (d). bahwa kerugian akibat tindak kejahatn atau terjadinya kejahatan akibat adanya provokasi oleh sikorban.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari tinjauan viktimologi terjadinya tindak pidana pemerkosaan tidak sepenuhnya dikarenakan peran pelaku (niat dan kesempatan ) tetapi juga karena adanya peran korban yang menyebabkan terjadinya tindakan pemerkosaan. Peran korban yang dimaksud adalah pola hidup dan tingkah laku korban yang senang berpakaian terbuka(vulgar) dan dekat dengan dunia malam.

B.     Saran
Untuk menekan angka kriminalitas khususnya tindak pidana pemerkosaan maka sangat di butuhkan kesadaran dari masyarakat untuk berperilaku hidup yang menjunjungtinggi moralitas dan etika.

 * Telah dipresentasikan oleh Hasnia, Zulkarnain B. Hakim & Hendry Lucter P  pada mata kuliah Viktimologi yang diampuh oleh Niken Subekti Budi Utami,S.H,M.Si

DAFTAR PUSTAKA
Gosita, Arif, 1985, Masalah Korban Kejahatan ”Kumpulan Karangan“, Akademika pressindo, Jakarta.
Tim Prima Press, 2006, Kamus Ilmiah Populer bahasa Indonesia, Gita Media Press,Surabaya.
Wahid Abdul dan Muh Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, PT.Refika Aditama Bandung, Bandung.
Waluyo, Bambang, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar