Laman

Senin, 22 April 2013

STABILITAS DAN DINAMIKA POLITIK HUKUM PIDANA DI INDONESIA*


H A S N I A

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah dan perkembangan politik hukum di Indonesia dimulai pada saat diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh sang proklamator Ir. Soekarano dan Moh. Hatta. Dari kemerdekaan itulah mulai dijalankannya suatu roda pemerintahan dengan menciptakan Negara hukum.
Hukum dalam pengertiannya sebagai kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja, akan tetapi memerlukan suatu proses pembentukkan hukum, hukum itu adalah suatu produk politik yang berasal dari kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi serta bersaing. Karena hukum berasal dari suatu proses politik maka demi menjaga kerangka cita hukum (rechtside ) perlu adanya suatu dasar atau acuan yakni Politik Hukum. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara Nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan. Selanjutnya politik hukum sebagai ilmu studi ( ilmu pengetahuan hukum ) yang membahas, memahami dan mengkaji perubahan Ius contitutum menjadi Ius constituendum dalam rangka upaya memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan. Dengan demikian politik hukum sepatutnya  melakukan upaya yang rasional dengan memperhitungkan semua faktor- faktor yang dapat mendukung berfungsi atau berkerjanya hukum, agar kesejahteraan dan keadilan sosial dapat tercapai.
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini akan berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukanya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legeslatif. Sedangkan dalam masyarakat common law (Anglo saxion) kewenangan terpusat pada hakim.
Negara Indonesia sebagai Negara hukum, konsep hukumnya mengikuti Eropa Kontinental, dimana pembentukan hukumnya dilakukan oleh badan legislatif (DPR). Landasan Juridis pemberian kewenangan kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan legislatif didasarkan pada pertama, Pasal 20 UUD Negara RI Tahun 1945 ayat 1: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Ayat 2 : “setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama” ayat 5 : “Dalam hal rancangan undang­undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang­undang tersebut disetujui rancangan undang­undang tersebut sah menjadi undang­undang dan wajib diundangkan”. Dalam UU No.12 tahun 2011 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan sebagi landasan yuridis kedua. Kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang diatur dalam BAB IV tentang “perencanaan penyusunan undang-undang” dan BAB V tentang “penyusunan peraturan perundang-undangan”.
Dari latar belakang itulah maka dianggap perlunya suatu kajian terhadap stabilitas dan dinamika politik hukum di indonesia terutama dalam bidang hukum pidana.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang berhubungan dengan stabilitas dan dinamika politik hukum di Indonesia terutama dalam bidang hukum pidana sebagai berikut;

1.      Bagaiamana stabilitas dan dinamika politik hukum pidana di Indonesia?
2.      Bagaimana pengaruh sistem politik hukum terhadap pembentukan hukum pidana di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat
a)      Tujuan penelitian
1)      Mengetahui pengaruh sistem politik hukum terhadap perkembangan hukum pidana di Indonesia.
2)      Mengetahui stabilitas dan dinamika politik hukum pidana di Indonesia
b)      Manfaat penelitian
Secara teoritis diharapkan dapat memberi sumbangsih ilmiah dalam pengembangan Politik hukum pidana. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi konkrit bagi lembaga pembentukan hukum terutama lembaga Legislatif (DPR) dan beberapa lembaga terkait.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Stabilitas dan Dinamika Politik Hukum Pidana di Indonesia
Perdebatan mengenai stabilitas dan dinamika politik hukum di Indonesia memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Law is a command of the Lawgiver, hukum adalah perintah dari penguasa Negara untuk mengatur manusia,[i] artinya bahwa perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan ajaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivism selain John Austin. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diperhatikan. Pertama, ajaran tentang hukum yang bersifat murni dan kedua yaitu Stufenbau des recht atau dikenal (Stufenbau theory) teori ini diilhami oleh seorang muridnya bernama Adolf Merkl (1836-1896)yang mengutamakan tentang adanya hierarkis dari pada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Hans Kelsen tidak memberikan ruang bagi berlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein/ kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran Stufenbau theory berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat di telusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Grundnorm (Norma dasar).[ii] Ia lahir bukan karena proses alamiah melainkan karena kemauan dan akal manusia. Sedangkan Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, tetapi  apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil?.
Keadilan adalah sebuah tema lain yang menarik untuk dikaji Sebagai konsep, keadilan memiliki dimensi yang ragam: teologi, filsafat, hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam konteks hukum, berkembang kepercayaan yang sesungguhnya agak berbau mitos, dan sering kali juga sedikit menyesatkan. Dalam bayangan banyak orang di negeri ini, keadilan adalah sebuah konsep dan praktik yang sepenuhnya adalah self-evident dalam wilayah hukum berikut seluruh instrumen, atribut, simbol dan asesorisnya. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, sekurang-kurangnya dalam perspektif sosiologi politik dan sosiologi hukum, ajaran tentang keadilan yang dipuja dalam hukum itu mengandung banyak masalah. Apa itu keadilan?; Siapa yang mendefinisikan sesuatu sebagai adil atau tidak?; keadilan menurut perspektif ruang dan waktu yang mana? Itu semua adalah sebagian pertanyaan dasar yang sangat rumit untuk di jelaskan.
Dalam ajaran hukum positif di lihat pada praktiknya, hukum sesungguhnya berkaitan dengan kepastian hukum, bukan keadilan hukum. Keadilan hukum adalah sesuatu yang dominan dalam perbincangan tentang filsafat hukum dan politik hukum. Tema-tema ini dibahas sebagai wacana akademik oleh para sarjana hukum di kelas-kelas di perguruan tinggi. Para praktisi hukum yang meliputi polisi, jaksa, hakim, dan para penasihat dan pembela hukum, berkaitanl dengan apa yang tertulis dalam kitab undang-undang, bukan pada prinsip-prinsip abstrak yang memenuhi buku-buku teks pengajaran hukum dan ilmu hukum. Dengan kata lain, para praktisi hukum sangat terikat dengan apa yang ditulis dalam hukum positif, bukan dalam hukum yang diidealkan oleh para sarjana dan ilmuwan hukum lainnya.
Dalam ajaran hukum positif, sangat jelas apa yang dianggap hukum dan bukan. Yang disebut pertama selalu terdapat dalam undang-undang dan peraturan lainnya, sekurang-kurangnya termaktub di dalamnya secara implisit. Apa yang tidak tertulis dalam undang-undang, bukanlah hukum positif betapapun itu dipercaya sebagai keharusan dan ideal serta adil oleh banyak orang. Karena itu menilai sebuah keputusan hukum sebagai adil atau tidak adalah sebuah pekerjaan yang mungkin berguna bagi banyak orang termasuk ahli hukum, ahli ilmu politik, atau bahkan para politisi, tetapi tidak untuk para praktisi hukum yang bekerja dalam kerangka ajaran hukum positif.
Dalam pemikiran seperti itulah, perbincangan tentang hukum sungguh memang tak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang politik dan kekuasaan . Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah sebuh naskah yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu diimplementasikan dalam sebuah ruang sosial oleh birokrasi penegak hukum dengan melihat beberapa pertimbangan.
Pertama “Ketertiban sosial dan keselamatan publik” yang menjadi dasar pokok dalam penegakan hukum juga mengandung pemihakan pada nilai-nilai tertentu. Seyogiayanya nilai-nilai yang dimaksud merupakan akar-akar dari budaya hukum kita yang diwadahi oleh sistem hukum kita seperti kekeluargaan, kebapakan, keserasian keseimbangan dan musyawarah, sebagaimana pengertian sistem “hukum pancasila” .[iii]
Kedua berhubungan dengan implementasi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa sebuah ketentuan hukum pada kasus tertentu diindahkan dan kasus sama yang lain, ihwal itu tak dikerjakan. Pemberlakuan tahanan rumah selama pemeriksaan pada kasus tindak pidana korupsi tertentu dan tindak pada kasus yang lain adalah salah satu contoh yang kerap dipakai untuk memperlihatkan betapa absurdnya tema tentang keadilan hukum itu. Contoh yang mirip juga dapat ditemukan pada kasus di mana pelaku white colar crime cenderung mendapat perlakuan yang berbeda dengan pelaku blue colar crime selama pemeriksaan hingga semasa terhukum berada dalam lembaga pemasyarakatan.
Yang ketiga berhubungan perbandingan relatif tentang sebuah keputusan hukum. Ihwal ini berhubungan dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi publik. Sebagai misal, mengapa putusan pengadilan pada kasus perampokan dan atau pencurian, sebutlah yang bernilai 50 juta rupiah, cenderung berakhir dengan putusan hakim yang lebih berat ketimbang pencurian uang negara yang bernilai milyaran rupiah. Contoh-contoh serupa dapat saja ditemukan untuk menghasilkan daftar yang lebih panjang. Intinya, rasa keadilan hukum itu berhubungan penilaian publik atas prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dalam perlakuan (treatment), kesempatan (opportunity) dan akses (access). Tema umumnya berhubungan dengan terjadinya pembedaan ketiga prinsip itu atas dasar status dan kelas sosial, kepercayaan politik dan ideologi.
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini yaitu sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip Negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan (check and balances) , jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ( due process of law), dan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia(human rights). Selanjutnya dalam Negara hukum atau Negara kesejahteraan tugas Negara, c.q. pemerintah sangat luas, yaitu menciptakan, memelihara, mempertahankan penyelenggaraan ketertiban, kemananan dan kesejahteraan para warga negaranya dalam arti seluas-luasnya.[iv] Selain itu prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik, berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikat. hukum diharapkan dapat  mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat, sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai pancasila, (moral dan etika) dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dinamika bekerjanya hukum dimasyarakat akan selalu mengalami hambatan maupun tantangan.[v] Dengan demikian nilai moral, etika dan kepentingan rakyat yang ada dalam kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru. 

B.     Pengaruh Sistem Politik Hukum terhadap Pembentukan Hukum Pidana di Indonesia
Politik hukum ialah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara, bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum . Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti yaitu:

1.      Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan  negara.
2.      Berhubungan dengan Negara berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara.

 Hubungan antara politik dan hukum bahwa hukum merupakan produk politik . Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Dapat dirumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disni hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam realitasnya boleh saja ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakkannya.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum sangat penting, paling tidak, untuk dua hal : Pertama, sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal.
perlu diketahui bahwa dua hal ini penting mengingat keberadaan peratuan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan ‘penghubung’ antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.
Politik hukum terdapat dua dimensi . Dimesi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Dasar” atau Basic Policy) Dimesi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Pemberlakuan” atau Enactment Policy). Suatu ketentuan, khususnya dalam bentuk undang-undang yang akan dibentuk selalu diletakkan lebih dulu politik hukumnya (legal policy) atas suatu pembentukan undang-undang, maka dalam hal ini menyangkut apakah perlu dilakukan pembentukan atau perubahan atas suatu undang-undang yang sudah ada, seberapa jauh perubahan harus dilakukan dan bentuk-bentuk perubahan yang diperlukan dalam rangka untuk merespon dan mengakomodir kepentingan pihak-pihak yang akan diatur. Dengan demikian, bahwa payung politik hukum (legal policy) yang utama dalam setiap ketentuan perundang-undangan harus selalu bermuara pada tujuan Negara sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 .
Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan politik hukum merupakan kebijakan Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan .
Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Paul Scholten menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logika bahan-bahan positif, yakni undang-undang dan vonis . Bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan.
Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro) dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati . Melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrumen) belaka . Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan darimana hukum itu berasal.
Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen.Politik kriminal itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas :[vi]

1.       Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.
2.      Dalam arti yang lebih luas, merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi.
3.      Dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy) . Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Dilihat dari sudut politik kriminal secara makro, non penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Karena bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya satu tindak pidana. Sasaran utama non penal policy adalah mengenai dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.[vii] Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal Science disamping Criminology dan Criminal Law .
Dengan demikian, penal policy atau politik hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang pada tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana atau eksekusi (kebijakan Administratif). Kebijakan legislatif merupakan tahap perencanaan dan perumusan perauturan perundang-undangan, yang menjadi penentu untuk tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju.
Dalam kaitan ini kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan . Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial.
Pembahasan mengenai pidana dalam hukum pidana tidak akan berujung mengingat aspek pidanamerupakan  bagian yang terpenting dari suatu undang-undang hukum pidana. Masalah pidana sering dijadikan tolok ukur mengenai seberapa besar tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan.
Dalam menghadapi masalah sentral yang sering disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut :[viii]
1.       Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2.      Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakanperbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.
3.      Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).
4.      Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu melihat mana perbuatan yang bertentangan atau mana yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Mengingat karakter hukum yang sesungguhnya itu memiliki unsur mutlak yang menjadikan hukum itu dapat berfungsi sebagai hukum positif “positif law”. Hart (Seorang pengikut aliran hukum positif analitis) sebagaimana di kutip ulang oleh Satjipto Rahardjo, telah mengintisarikan pengertian positivisme menurut Austin sebagai berikut:[ix]
a.       Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being).
b.      Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis demikian berbeda dari studi sosiologis dan historis, serta penilaian berlainan dengan suatu penilaian kritis.
c.       Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
d.      Penghukuman (Judgment) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
e.       Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan yang di inginkan.
Sebagai suatu masalah, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif . Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).
Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat.
Upaya pembaruan tatanan hukum itu haruslah tetap menjadikan Pancasila sebagai paradigmanya, sebab Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan norma fundamental negara harus dijadikan orientasi arah, sumber nilai-nilai dan kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan hukum. Tidak efektifnya hukum dalam memainkan fungsi dan perannya di Indonesia saat ini bukan disebabkan oleh tidak layaknya Pancasila sebagai paradigma tetapi sebaliknya disebabkan oleh penyimpangan dari paradigma Pancasila itu .
Beberapa pakar sosiolog mengatakan bahwa bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundang-undangan, namun jika substansinya tidak dapat diterapkan, maka undang-undang itu hanya merupakan huruf dan kata-kata mati. Oleh karena itu, hendaknya jika membuat peraturan perundang-undangan hendaknya memperhatikan 4 (empat) hal penting yaitu :

1.      Undang-undang yang dibuat harus jauh berlaku ke depan (Predictability)
2.      Dapat diimplementasikan (Applicable),
3.      Mengandung Netralitas/keadilan (Fairners)
4.      tercermin di dalamnya kepastian hukum (Certainty).
Di samping itu menurut Lon Fuller ada 8 (delapan) asas atau prinsip (Principles of Legality) yang harus diperhatikan dan menjadi pedoman dalam membentuk sistem hukum, yaitu :[x]
1.      Harus mengandung peraturan;
2.      Peraturan yang telah diatur harus diumumkan;
3.      Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut;
4.      Peraturan harus dirumuskan sebagai susunan kalimat yang mudah dimengerti;
5.      Suatu susunan tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lainnya;
6.      Peraturan tidak boleh mengandung norma yang tidak dapat diterapkan;
7.      Tidak boleh terlalu cepat merubah peraturan, karena akan berakibat subjek hukum kehilangan orientasinya;
8.      Harus ada kecocokan peraturan yang diundangkan dengan peraturan pelaksanaanya;
Dengan demikian maka diperlukan parameter hukum yang tepat agar tercapai penegakan (Enforceability) yang memadai, oleh karena itu ketentuan yang dibentuk harus memenuhi kriteria berikut ini:
1.      Necessity, bahwa hukum harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan sistematis dan terencana;
2.      Adequacy, bahwa rumusan norma-norma hukum harus memiliki tingkat dan kadar kepastian yang tinggi,
3.       Legal Certainty, bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan penafsiran;,
4.      Actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan kepastian hukum;
5.      Feasibility, bahwa hukum harus memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan terutama berkenaan dengan tingkat penataannya;
6.      Verifiability, bahwa hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang siap uji secara objektif;
7.       Enforceability, bahwa pada hakikatnya terus memiliki daya paksa agar diaati dan dihormati; dan
8.       Provability, bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam pembuktian.
Salah satu kelemahan dalam pembangunan hukum kita saat interletak pada tataran implementasinya bukan dalam tataran pembentukan hukumnya (penciptaan hukum positif, karena soal penciptaan hukum normatif Indonesia luar biasa hebatnya), karena begitu suatu undang-undang disahkan atau diberlakukan, maka dengan berbagai macam kendala akan muncul, karena persoalan hukum bukan sekedar hanya persoalan susunan norma-norma atau untaian kata-kata manis, tetapi menjadi persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Belum lagi jika  berbicara mengenai substansi peraturan perundang-undangan yang normanya kurang jelas sehingga sulit untuk diimplementasikan, overlapping substansi antara satu undang-undang dengan undang-undangan lainnya, perebutan kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Pada hal semuanya fenomena tersebut tidak selayaknya/perlu terjadi, karena tujuan keberadaan pejabat public (civil servant) adalah menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat demi tercapainya tujuan dan cita-cita masyarakat bangsa Indonesia sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Negara.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Dinamika bekerjanya hukum dimasyarakat akan selalu mengalami hambatan maupun tantangan. Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah sebuh naskah yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu diimplementasikan dalam sebuah ruang sosial oleh birokrasi penegak hukum dengan melihat beberapa pertimbangan. Pertama “Ketertiban sosial dan keselamatan publik” yang menjadi dasar pokok dalam penegakan hukum juga mengandung pemihakan pada nilai-nilai tertentu.  Seyogiayanya Nilai-nilai yang dimaksud merupakan akar-akar dari budaya hukum kita yang diwadahi oleh sistem hukum kita seperti kekeluargaan, kebapakan, keserasian keseimbangan dan musyawarah, sebagaimana pengertian sistem “hukum pancasila”. Kedua berhubungan dengan implementasi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa sebuah ketentuan hukum pada kasus tertentu diindahkan dan kasus sama yang lain, ihwal itu tak dikerjakan. ketiga berhubungan perbandingan relatif tentang sebuah keputusan hukum. Ihwal ini berhubungan dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi publik. Intinya, rasa keadilan hukum itu berhubungan penilaian publik atas prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dalam perlakuan (treatment), kesempatan (opportunity) dan akses (access).
2.      politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Upaya pembaruan tatanan hukum haruslah tetap menjadikan Pancasila sebagai paradigmanya, sebab Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan norma fundamental negara harus dijadikan orientasi arah, sumber nilai-nilai dan kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan hukum. Tidak efektifnya hukum dalam memainkan fungsi dan perannya di Indonesia saat ini bukan disebabkan oleh tidak layaknya Pancasila sebagai paradigma tetapi sebaliknya disebabkan oleh penyimpangan dari paradigma Pancasila itu .

B.     Saran atau Rekomendasi
1.      Politik hukum harus berpijak pada tujuan Negara dan sistem hukum yang berlaku di Negara yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.
2.      Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus yang didasari semangat nilai-nilai pancasila, agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam kehidupan bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat. ***

* Telah dinilai oleh Prof. Dr. Sudjito, SH., M.Si

DAFTAR PUSTAKA

Hamidi, Jazim, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI”,  Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta, 2006.

Kelsen, Hans “General Theory of Law and State”  Terjemah oleh Anderes Wedberg, Russell, New York, 1973, hlm.123. kemudian dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.

Kusuma, Mahmud, Menyelami Semangat Hukum Progresif ”Terapi Paradikmatik Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia”, Antonylib, Yoyakarta, 2009.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 267 (Lihat juga Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI”,  Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta, 2006).

Rahardjo, Satjipto, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009.

Soehino, Politik Hukum di Indonesia”Edisi Pertama”, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2010.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, hlm. 113-114 (Lihat Juga, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “ Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”, Prenada Media Group, Jakarta, 2011).

Sudarto, Hukum  dan Hukum Pidana, 1997, hlm. 44-48 (Lihat Juga, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “ Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”, Prenada Media Group, Jakarta, 2011).



[i] Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI”,  Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 47.

[ii] Pendapat Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State”  Terjemah oleh Anderes Wedberg, Russell, New York, 1973, hlm.123. kemudian dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 25.

[iii] Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hlm. 11

[iv] Soehino, Politik Hukum di Indonesia”Edisi Pertama”, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm. 130

[v] Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif “ Terapi Paradikmatik Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia”, Antonylib, Yoyakarta, 2009,  hlm. 1

[vi] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, hlm. 113-114 (Lihat Juga, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “ Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”, Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm. 3)

[vii] Ibid., hlm. 23

[viii]  Sudarto, Hukum  dan Hukum Pidana, 1997, hlm. 44-48 (Lihat Juga, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “ Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”,Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm. 31)

[ix] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 267 (Lihat juga Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI”,  Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 49).

[x] Di ambil dari materi perkuliahan Teori Hukum Angkatan tahun 2012 dan pernah disampaikan oleh Prof.Dr. Sudjito, SH. M.Si pada Perkuliahan Tanggal 5-November 2012 di Gedung IV, 2,2 Fak. Hukum UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar