H A S N I A
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejarah dan perkembangan politik
hukum di Indonesia dimulai pada saat diproklamirkannya kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh sang proklamator Ir. Soekarano dan
Moh. Hatta. Dari kemerdekaan itulah mulai dijalankannya suatu roda pemerintahan
dengan menciptakan Negara hukum.
Hukum dalam pengertiannya sebagai
kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja, akan tetapi memerlukan suatu
proses pembentukkan hukum, hukum itu adalah suatu produk politik yang berasal
dari kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi serta
bersaing. Karena hukum berasal dari suatu proses politik maka demi menjaga
kerangka cita hukum (rechtside )
perlu adanya suatu dasar atau acuan yakni Politik Hukum. Politik hukum
adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara Nasional oleh
pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan
pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum
adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam
kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan. Selanjutnya politik hukum sebagai ilmu studi ( ilmu pengetahuan hukum )
yang membahas, memahami dan mengkaji perubahan Ius contitutum menjadi Ius
constituendum dalam rangka upaya memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu
mengalami perkembangan. Dengan demikian politik hukum sepatutnya melakukan upaya yang rasional dengan
memperhitungkan semua faktor- faktor yang dapat mendukung berfungsi atau
berkerjanya hukum, agar kesejahteraan dan keadilan sosial dapat tercapai.
Pembentukan hukum dalam suatu sistem
hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat
hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini akan berbeda pada setiap
kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukanya dapat berlangsung
sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai
proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan
kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa Kontinental
pembentukan hukum dilakukan oleh badan legeslatif. Sedangkan dalam masyarakat
common law (Anglo saxion) kewenangan terpusat pada hakim.
Negara
Indonesia sebagai Negara hukum, konsep hukumnya mengikuti Eropa Kontinental,
dimana pembentukan hukumnya dilakukan oleh badan legislatif (DPR). Landasan
Juridis pemberian kewenangan kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan
legislatif didasarkan pada pertama, Pasal 20 UUD Negara RI Tahun 1945 ayat 1: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Ayat 2 : “setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama” ayat 5 : “Dalam hal rancangan undangundang yang
telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga
puluh hari semenjak rancangan undangundang tersebut disetujui rancangan undangundang
tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan”. Dalam UU No.12
tahun 2011 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan sebagi landasan
yuridis kedua. Kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang diatur dalam BAB
IV tentang “perencanaan penyusunan undang-undang” dan BAB V tentang “penyusunan
peraturan perundang-undangan”.
Dari latar
belakang itulah maka dianggap perlunya suatu kajian terhadap stabilitas dan
dinamika politik hukum di indonesia terutama dalam bidang hukum pidana.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang berhubungan
dengan stabilitas dan
dinamika politik hukum di Indonesia terutama dalam bidang hukum pidana sebagai
berikut;
1.
Bagaiamana stabilitas dan dinamika politik hukum pidana
di Indonesia?
2.
Bagaimana pengaruh sistem politik hukum terhadap pembentukan
hukum pidana di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat
a)
Tujuan
penelitian
1)
Mengetahui
pengaruh sistem
politik hukum terhadap perkembangan hukum pidana di Indonesia.
2)
Mengetahui
stabilitas dan
dinamika politik hukum pidana di Indonesia
b)
Manfaat
penelitian
Secara teoritis
diharapkan dapat memberi sumbangsih ilmiah dalam pengembangan Politik hukum
pidana. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi
konkrit bagi lembaga pembentukan hukum terutama lembaga Legislatif (DPR) dan
beberapa lembaga terkait.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Stabilitas dan
Dinamika Politik Hukum Pidana di Indonesia
Perdebatan mengenai stabilitas dan
dinamika politik hukum di Indonesia memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu
hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin,
hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Law is a command of the Lawgiver, hukum
adalah perintah dari penguasa Negara untuk mengatur manusia,[i]
artinya bahwa perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang
memegang kedaulatan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan
aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum
dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada
dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan
umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Dari kalangan penganut sistem hukum
Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan ajaran hukum murninya selalu
digolongkan sebagai penganut aliran positivism selain John Austin. Ada dua
teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diperhatikan. Pertama,
ajaran tentang hukum yang bersifat murni dan kedua yaitu Stufenbau des recht atau dikenal
(Stufenbau theory) teori ini
diilhami oleh seorang muridnya bernama Adolf Merkl (1836-1896)yang mengutamakan
tentang adanya hierarkis dari pada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni
Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang
tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian
Hans Kelsen tidak memberikan ruang bagi berlakunya hukum alam. Hukum merupakan
sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein/ kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran Stufenbau theory berpendapat bahwa suatu
sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum
tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi
lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat di telusuri
lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Grundnorm (Norma dasar).[ii]
Ia lahir bukan karena proses alamiah melainkan karena kemauan dan akal manusia.
Sedangkan Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan
yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum
yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, tetapi apakah hukum yang senyatanya itu adil atau
tidak adil?.
Keadilan adalah sebuah tema lain
yang menarik untuk dikaji Sebagai konsep, keadilan memiliki dimensi yang ragam:
teologi, filsafat, hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam konteks
hukum, berkembang kepercayaan yang sesungguhnya agak berbau mitos, dan sering
kali juga sedikit menyesatkan. Dalam bayangan banyak orang di negeri ini,
keadilan adalah sebuah konsep dan praktik yang sepenuhnya adalah self-evident
dalam wilayah hukum berikut seluruh instrumen, atribut, simbol dan asesorisnya.
Dalam kenyataan yang sesungguhnya, sekurang-kurangnya dalam perspektif
sosiologi politik dan sosiologi hukum, ajaran tentang keadilan yang dipuja
dalam hukum itu mengandung banyak masalah. Apa itu keadilan?; Siapa yang
mendefinisikan sesuatu sebagai adil atau tidak?; keadilan menurut perspektif
ruang dan waktu yang mana? Itu semua adalah sebagian pertanyaan dasar yang
sangat rumit untuk di jelaskan.
Dalam ajaran hukum positif di lihat
pada praktiknya, hukum sesungguhnya berkaitan dengan kepastian hukum, bukan
keadilan hukum. Keadilan hukum adalah sesuatu yang dominan dalam perbincangan
tentang filsafat hukum dan politik hukum. Tema-tema ini dibahas sebagai wacana
akademik oleh para sarjana hukum di kelas-kelas di perguruan tinggi. Para
praktisi hukum yang meliputi polisi, jaksa, hakim, dan para penasihat dan
pembela hukum, berkaitanl dengan apa yang tertulis dalam kitab undang-undang,
bukan pada prinsip-prinsip abstrak yang memenuhi buku-buku teks pengajaran
hukum dan ilmu hukum. Dengan kata lain, para praktisi hukum sangat terikat
dengan apa yang ditulis dalam hukum positif, bukan dalam hukum yang diidealkan
oleh para sarjana dan ilmuwan hukum lainnya.
Dalam ajaran hukum positif, sangat
jelas apa yang dianggap hukum dan bukan. Yang disebut pertama selalu terdapat
dalam undang-undang dan peraturan lainnya, sekurang-kurangnya termaktub di
dalamnya secara implisit. Apa yang tidak tertulis dalam undang-undang, bukanlah
hukum positif betapapun itu dipercaya sebagai keharusan dan ideal serta adil
oleh banyak orang. Karena itu menilai sebuah keputusan hukum sebagai adil atau
tidak adalah sebuah pekerjaan yang mungkin berguna bagi banyak orang termasuk
ahli hukum, ahli ilmu politik, atau bahkan para politisi, tetapi tidak untuk
para praktisi hukum yang bekerja dalam kerangka ajaran hukum positif.
Dalam pemikiran seperti itulah,
perbincangan tentang hukum sungguh memang tak dapat dipisahkan dari perbincangan
tentang politik dan kekuasaan . Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah
sebuh naskah yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak
pernah netral dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika
naskah itu diimplementasikan dalam sebuah ruang sosial oleh birokrasi penegak
hukum dengan melihat beberapa pertimbangan.
Pertama
“Ketertiban sosial dan keselamatan publik” yang menjadi dasar pokok dalam
penegakan hukum juga mengandung pemihakan pada nilai-nilai tertentu. Seyogiayanya
nilai-nilai yang dimaksud merupakan akar-akar dari budaya hukum kita yang
diwadahi oleh sistem hukum kita seperti kekeluargaan, kebapakan, keserasian
keseimbangan dan musyawarah, sebagaimana pengertian sistem “hukum pancasila” .[iii]
Kedua berhubungan
dengan implementasi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang
mengapa sebuah ketentuan hukum pada kasus tertentu diindahkan dan kasus sama
yang lain, ihwal itu tak dikerjakan. Pemberlakuan tahanan rumah selama
pemeriksaan pada kasus tindak pidana korupsi tertentu dan tindak pada kasus
yang lain adalah salah satu contoh yang kerap dipakai untuk memperlihatkan
betapa absurdnya tema tentang keadilan hukum itu. Contoh yang mirip juga dapat
ditemukan pada kasus di mana pelaku white
colar crime cenderung mendapat perlakuan yang berbeda dengan pelaku blue colar crime selama pemeriksaan
hingga semasa terhukum berada dalam lembaga pemasyarakatan.
Yang ketiga berhubungan perbandingan relatif tentang sebuah keputusan
hukum. Ihwal ini berhubungan dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi
publik. Sebagai misal, mengapa putusan pengadilan pada kasus perampokan dan
atau pencurian, sebutlah yang bernilai 50 juta rupiah, cenderung berakhir
dengan putusan hakim yang lebih berat ketimbang pencurian uang negara yang
bernilai milyaran rupiah. Contoh-contoh serupa dapat saja ditemukan untuk
menghasilkan daftar yang lebih panjang. Intinya, rasa keadilan hukum itu
berhubungan penilaian publik atas prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dalam perlakuan (treatment), kesempatan (opportunity) dan akses (access). Tema umumnya berhubungan
dengan terjadinya pembedaan ketiga prinsip itu atas dasar status dan kelas
sosial, kepercayaan politik dan ideologi.
Beberapa prinsip penting dalam
sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini yaitu sistem yang
berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip
demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan
salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang
dianut. Prinsip Negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan
kekuasaan (check and balances) , jaminan
kekuasaan kehakiman yang merdeka ( due
process of law), dan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia(human rights). Selanjutnya dalam Negara
hukum atau Negara kesejahteraan tugas Negara, c.q. pemerintah sangat luas,
yaitu menciptakan, memelihara, mempertahankan penyelenggaraan ketertiban,
kemananan dan kesejahteraan para warga negaranya dalam arti seluas-luasnya.[iv]
Selain itu prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara
pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi
dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan sistem politik yang demikianlah
berbagai produk politik, berupa kebijakan politik dan peraturan
perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah
produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikat.
hukum diharapkan dapat mengakomodir
segala kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat, sehingga apa yang dimaksud
dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan
oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai pancasila,
(moral dan etika) dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena
telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dinamika
bekerjanya hukum dimasyarakat akan selalu mengalami hambatan maupun tantangan.[v]
Dengan demikian nilai moral, etika dan kepentingan rakyat yang ada dalam kenyataan
sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan
melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan
pembentukan perundangan-undangan yang baru.
B.
Pengaruh Sistem
Politik Hukum terhadap Pembentukan Hukum Pidana di Indonesia
Politik
hukum ialah legal policy atau arah
hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara, bentuknya
dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang
seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum
yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan
dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang
melahirkan kaidah-kaidah hukum . Mengkaji politik hukum pidana akan terkait
dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan
hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti yaitu:
1.
Perkataan
politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara.
2.
Berhubungan
dengan Negara berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan
dengan negara.
Hubungan antara politik dan hukum bahwa hukum
merupakan produk politik . Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel
terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh).
Dapat dirumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang
bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan
yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disni hukum tidak dapat
hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan, melainkan
harus dipandang sebagai subsistem yang dalam realitasnya boleh saja ditentukan
oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam
implementasi dan penegakkannya.
Dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum sangat penting, paling
tidak, untuk dua hal : Pertama,
sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Kedua, untuk
menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi
perumusan pasal.
perlu diketahui bahwa dua hal ini penting mengingat keberadaan peratuan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan ‘penghubung’ antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.
perlu diketahui bahwa dua hal ini penting mengingat keberadaan peratuan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan ‘penghubung’ antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.
Politik
hukum terdapat dua dimensi . Dimesi pertama adalah politik hukum yang menjadi
alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Dasar” atau Basic Policy) Dimesi kedua dari
politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakukan suatu
peraturan perundang-undangan (“Kebijakan
Pemberlakuan” atau Enactment Policy). Suatu
ketentuan, khususnya dalam bentuk undang-undang yang akan dibentuk selalu
diletakkan lebih dulu politik hukumnya (legal
policy) atas suatu pembentukan undang-undang, maka dalam hal ini menyangkut
apakah perlu dilakukan pembentukan atau perubahan atas suatu undang-undang yang
sudah ada, seberapa jauh perubahan harus dilakukan dan bentuk-bentuk perubahan
yang diperlukan dalam rangka untuk merespon dan mengakomodir kepentingan pihak-pihak
yang akan diatur. Dengan demikian, bahwa payung politik hukum (legal policy) yang utama dalam setiap
ketentuan perundang-undangan harus selalu bermuara pada tujuan Negara sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945 .
Dengan
dasar itu, Sudarto mengatakan politik hukum merupakan kebijakan Negara melalui
badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan .
Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Paul Scholten menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logika bahan-bahan positif, yakni undang-undang dan vonis . Bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan.
Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Paul Scholten menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logika bahan-bahan positif, yakni undang-undang dan vonis . Bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan.
Politik
hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam
tataran makro) dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai
yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan
cara-cara yang diusulkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal
tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati . Melaksanakan politik hukum
pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang. Peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang
berperan sebagai suatu alat (instrumen) belaka . Pendekatan secara fungsional,
hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan darimana hukum
itu berasal.
Jika
hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk
perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum
dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk
manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak
lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai
instrumen.Politik kriminal itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling
luas :[vi]
1.
Dalam arti sempit, politik kriminal
digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.
2.
Dalam
arti yang lebih luas, merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi.
3.
Dalam
arti yang paling luas, merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan
norma-norma sentral masyarakat.
Kebijakan
penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu
kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan
penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy) . Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada
tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada
tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Dilihat dari sudut
politik kriminal secara makro, non penal
policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling
strategis. Karena bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya satu tindak
pidana. Sasaran utama non penal policy
adalah mengenai dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan
terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan
penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah
“kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat
kebijakan hukum pidana (penal policy)
merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.[vii] Kebijakan
hukum pidana (penal policy) tersebut
merupakan salah satu komponen dari Modern
Criminal Science disamping Criminology
dan Criminal Law .
Dengan
demikian, penal policy atau politik
hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik
dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang pada tahap formulasi (kebijakan
legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana atau eksekusi
(kebijakan Administratif). Kebijakan legislatif merupakan tahap perencanaan dan
perumusan perauturan perundang-undangan, yang menjadi penentu untuk tahap
berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah
ditentukan arah yang hendak dituju.
Dalam
kaitan ini kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang
baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan . Oleh karena
itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan
kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang merupakan
bagian integral dari politik sosial.
Pembahasan
mengenai pidana dalam hukum pidana tidak akan berujung mengingat aspek pidanamerupakan
bagian yang terpenting dari suatu
undang-undang hukum pidana. Masalah pidana sering dijadikan tolok ukur mengenai
seberapa besar tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan.
Dalam
menghadapi masalah sentral yang sering disebut masalah kriminalisasi harus
diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut :[viii]
1.
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan
tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang
merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila;
sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2.
Perbuatan
yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakanperbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugian (materiil dan atau spiritual)
atas warga masyarakat.
3.
Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).
4.
Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Masalah
kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan
politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu melihat mana
perbuatan yang bertentangan atau mana yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat
dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat. Mengingat karakter hukum yang sesungguhnya itu
memiliki unsur mutlak yang menjadikan hukum itu dapat berfungsi sebagai hukum
positif “positif law”. Hart (Seorang
pengikut aliran hukum positif analitis) sebagaimana di kutip ulang oleh
Satjipto Rahardjo, telah mengintisarikan pengertian positivisme menurut Austin
sebagai berikut:[ix]
a.
Hukum
adalah perintah dari
manusia (command of human being).
b.
Analisis
terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.
Analisis demikian berbeda dari studi sosiologis dan historis, serta penilaian
berlainan dengan suatu penilaian kritis.
c.
Keputusan-keputusan
dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih
dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta
moralitas.
d.
Penghukuman
(Judgment) secara moral tidak dapat
ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau
pengujian.
e.
Hukum
sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum,
harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan yang di
inginkan.
Sebagai
suatu masalah, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu
keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya
dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan
pemilihan dari berbagai macam alternatif
. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial tetapi juga
merupakan masalah kebijakan (the problem
of policy).
Pembangunan
hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah
dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya
sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang
imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat.
Upaya
pembaruan tatanan hukum itu haruslah tetap menjadikan Pancasila sebagai
paradigmanya, sebab Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita
hukum dan norma fundamental negara harus dijadikan orientasi arah, sumber
nilai-nilai dan kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan hukum. Tidak
efektifnya hukum dalam memainkan fungsi dan perannya di Indonesia saat ini
bukan disebabkan oleh tidak layaknya Pancasila sebagai paradigma tetapi
sebaliknya disebabkan oleh penyimpangan dari paradigma Pancasila itu .
Beberapa
pakar sosiolog mengatakan bahwa bagaimanapun baiknya suatu peraturan
perundang-undangan, namun jika substansinya tidak dapat diterapkan, maka
undang-undang itu hanya merupakan huruf dan kata-kata mati. Oleh karena itu,
hendaknya jika membuat peraturan perundang-undangan hendaknya memperhatikan 4
(empat) hal penting yaitu :
1.
Undang-undang
yang dibuat harus jauh berlaku ke depan (Predictability)
2.
Dapat
diimplementasikan (Applicable),
3.
Mengandung
Netralitas/keadilan (Fairners)
4.
tercermin
di dalamnya kepastian hukum (Certainty).
Di
samping itu menurut Lon Fuller ada 8 (delapan) asas atau prinsip (Principles of Legality) yang harus
diperhatikan dan menjadi pedoman dalam membentuk sistem hukum, yaitu :[x]
1.
Harus
mengandung peraturan;
2.
Peraturan
yang telah diatur harus diumumkan;
3.
Peraturan
tidak boleh ada yang berlaku surut;
4.
Peraturan
harus dirumuskan sebagai susunan kalimat yang mudah dimengerti;
5.
Suatu
susunan tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lainnya;
6.
Peraturan
tidak boleh mengandung norma yang tidak dapat diterapkan;
7.
Tidak
boleh terlalu cepat merubah peraturan, karena akan berakibat subjek hukum
kehilangan orientasinya;
8.
Harus
ada kecocokan peraturan yang diundangkan dengan peraturan pelaksanaanya;
Dengan
demikian maka diperlukan parameter hukum yang tepat agar tercapai penegakan (Enforceability) yang memadai, oleh
karena itu ketentuan yang dibentuk harus memenuhi kriteria berikut ini:
1.
Necessity, bahwa hukum
harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan sistematis dan terencana;
2.
Adequacy, bahwa rumusan
norma-norma hukum harus memiliki tingkat dan kadar kepastian yang tinggi,
3.
Legal
Certainty, bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah dengan jelas
dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan penafsiran;,
4.
Actuality, bahwa hukum
harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan
kepastian hukum;
5.
Feasibility, bahwa hukum
harus memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan terutama berkenaan
dengan tingkat penataannya;
6.
Verifiability, bahwa hukum
yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang siap uji secara objektif;
7.
Enforceability, bahwa pada
hakikatnya terus memiliki daya paksa agar diaati dan dihormati; dan
8.
Provability,
bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam pembuktian.
Salah
satu kelemahan dalam pembangunan hukum kita saat interletak pada tataran
implementasinya bukan dalam tataran pembentukan hukumnya (penciptaan hukum
positif, karena soal penciptaan hukum normatif Indonesia luar biasa hebatnya),
karena begitu suatu undang-undang disahkan atau diberlakukan, maka dengan
berbagai macam kendala akan muncul, karena persoalan hukum bukan sekedar hanya
persoalan susunan norma-norma atau untaian kata-kata manis, tetapi menjadi
persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Belum lagi jika berbicara mengenai substansi peraturan
perundang-undangan yang normanya kurang jelas sehingga sulit untuk
diimplementasikan, overlapping
substansi antara satu undang-undang dengan undang-undangan lainnya, perebutan
kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Pada hal semuanya fenomena
tersebut tidak selayaknya/perlu terjadi, karena tujuan keberadaan pejabat
public (civil servant) adalah menjalankan
tugasnya sebagai pelayan masyarakat demi tercapainya tujuan dan cita-cita
masyarakat bangsa Indonesia sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Negara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dinamika bekerjanya hukum
dimasyarakat akan selalu mengalami hambatan maupun tantangan. Sebagai sebuah
produk politik, hukum adalah sebuh naskah yang di dalamnya mengandung pemihakan
nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral dari nilai atau sejumlah nilai
tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu diimplementasikan dalam sebuah ruang
sosial oleh birokrasi penegak hukum dengan melihat beberapa pertimbangan. Pertama “Ketertiban sosial dan
keselamatan publik” yang menjadi dasar pokok dalam penegakan hukum juga
mengandung pemihakan pada nilai-nilai tertentu.
Seyogiayanya Nilai-nilai yang dimaksud merupakan akar-akar dari budaya
hukum kita yang diwadahi oleh sistem hukum kita seperti kekeluargaan,
kebapakan, keserasian keseimbangan dan musyawarah, sebagaimana pengertian
sistem “hukum pancasila”. Kedua
berhubungan dengan implementasi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan
tentang mengapa sebuah ketentuan hukum pada kasus tertentu diindahkan dan kasus
sama yang lain, ihwal itu tak dikerjakan.
ketiga berhubungan perbandingan relatif tentang sebuah keputusan hukum.
Ihwal ini berhubungan dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi publik.
Intinya, rasa keadilan hukum itu berhubungan penilaian publik atas
prinsip-prinsip kesetaraan (equality)
dalam perlakuan (treatment),
kesempatan (opportunity) dan akses (access).
2.
politik
hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional
oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di
belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Upaya pembaruan tatanan hukum
haruslah tetap menjadikan Pancasila sebagai paradigmanya, sebab Pancasila yang
berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan norma fundamental negara
harus dijadikan orientasi arah, sumber nilai-nilai dan kerangka berpikir dalam
setiap upaya pembaruan hukum. Tidak efektifnya hukum dalam memainkan fungsi dan
perannya di Indonesia saat ini bukan disebabkan oleh tidak layaknya Pancasila
sebagai paradigma tetapi sebaliknya disebabkan oleh penyimpangan dari paradigma
Pancasila itu .
B.
Saran atau
Rekomendasi
1.
Politik
hukum harus berpijak pada tujuan Negara dan sistem hukum yang berlaku di Negara
yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam
Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.
2.
Pembangunan
hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah
dilakukan secara terus menerus yang didasari semangat nilai-nilai pancasila, agar
hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku
(fungsi ketertiban) dalam kehidupan bersama yang imperatif dan efektif sebagai
penjamin keadilan di dalam masyarakat. ***
* Telah dinilai oleh Prof. Dr. Sudjito, SH., M.Si
DAFTAR PUSTAKA
Hamidi,
Jazim, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna,
Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan
RI”, Konstitusi Press, Jakarta dan
Citra Media, Yogyakarta, 2006.
Kelsen,
Hans “General Theory of Law and State” Terjemah oleh Anderes Wedberg, Russell, New
York, 1973, hlm.123. kemudian dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Kusuma,
Mahmud, Menyelami Semangat Hukum
Progresif ”Terapi Paradikmatik Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia”, Antonylib,
Yoyakarta, 2009.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 267 (Lihat
juga Jazim Hamidi, Revolusi Hukum
Indonesia “ Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus
1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI”,
Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta, 2006).
Rahardjo,
Satjipto, Sisi-sisi Lain dari Hukum di
Indonesia, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009.
Soehino, Politik Hukum di Indonesia”Edisi Pertama”, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 2010.
Sudarto,
Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981,
hlm. 113-114 (Lihat Juga, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “ Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru”, Prenada Media Group, Jakarta, 2011).
Sudarto,
Hukum
dan Hukum Pidana, 1997, hlm. 44-48 (Lihat Juga, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”, Prenada Media Group, Jakarta, 2011).
[i]
Jazim
Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna,
Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem
Ketatanegaraan RI”, Konstitusi
Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 47.
[ii]
Pendapat
Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State” Terjemah oleh Anderes Wedberg, Russell, New
York, 1973, hlm.123. kemudian dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998,
hlm. 25.
[iii]
Satjipto
Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di
Indonesia, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hlm. 11
[iv]
Soehino, Politik Hukum di Indonesia”Edisi Pertama”, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 2010, hlm. 130
[v]
Mahmud
Kusuma, Menyelami Semangat Hukum
Progresif “ Terapi Paradikmatik Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia”, Antonylib,
Yoyakarta, 2009, hlm. 1
[vi]
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, hlm.
113-114 (Lihat Juga, Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana “ Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”,
Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm. 3)
[viii]
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, 1997, hlm. 44-48 (Lihat
Juga, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana “ Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”,Prenada
Media Group, Jakarta, 2011, hlm. 31)
[ix]
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996, hlm. 267 (Lihat juga Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah
Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media,
Yogyakarta, 2006, hlm. 49).
[x]
Di ambil
dari materi perkuliahan Teori Hukum Angkatan
tahun 2012 dan pernah disampaikan oleh Prof.Dr. Sudjito, SH. M.Si pada
Perkuliahan Tanggal 5-November 2012 di Gedung IV, 2,2 Fak. Hukum UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar